Waqf, Climate, and Sustainability: The Ultimate Blended Strategy

IBEC FEB UI
11 min readNov 4, 2021

--

Oleh: Panji Muhammad Iqbal Raharjo (Bisnis Islam 2020), Staf Departemen Kajian IBEC FEB UI 2021

Alam telah memberikan kita banyak kenikmatan di mana kita semestinya bertekad dengan sepenuh hati untuk melindunginya dari kerusakan yang semakin merajalela. Salah satu upaya untuk merestorasi kerusakan alam adalah dengan memupuk kembali sumber daya alam yang telah dimanfaatkan secara bertahap. Kekayaan alam yang dimanfaatkan sejatinya bukanlah warisan cuma-cuma dari nenek moyang, melainkan setumpuk liabilitas yang harus dibayarkan kepada generasi anak cucu kita agar hajat hidup mereka yang bervariasi dapat terpenuhi selayaknya kita pada saat ini. Akan tetapi, tendensi perilaku individu yang eksploitatif dan apatis telah melahirkan risiko iklim yang tidak terelakkan, seperti masalah perubahan iklim dengan segala konsekuensi yang timbul olehnya (Greenpeace Indonesia, 2021).

Ketua Tim Penasihat Menteri Perikanan dan Kelautan RI, Prof. Rokhmin Dahuri, menyatakan bahwa Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak buruk perubahan iklim di mana negara kepulauan ini didominasi oleh pulau-pulau yang berukuran dibawah sepuluh hektar dan daerah pesisir yang merupakan dataran rendah. Pulau kecil dan pesisir sangat rentan terhadap risiko terendam saat air laut mengalami peningkatan sehingga sebagian besar penduduk yang tinggal di daerah pesisir akan kehilangan pekerjaan maupun tempat tinggal mereka. Tidak hanya pulau maupun pesisir yang tenggelam, tetapi juga terjadi peningkatan risiko bencana hidrometeorologi, seperti curah hujan yang ekstrem, kekeringan, gelombang panas, serta kebakaran hutan. Adapun, faktor penyebab perubahan iklim tidak lain disebabkan oleh peningkatan emisi karbon di atmosfer bumi (Greenpeace, 2021).

Emisi karbon dalam konsentrasi yang besar dapat menjebak energi panas dari radiasi matahari di mana seharusnya kembali dipantulkan ke luar atmosfer sehingga memicu peningkatan suhu global yang jika tidak ditangani dengan sesegera mungkin akan memicu percepatan menuju krisis iklim (Natural Resource Defense Council, 2021). Krisis iklim merupakan kondisi perubahan iklim yang berada di ujung tanduk apabila manusia gagal dalam menahan laju pemanasan global di bawah dua derajat celcius di mana bumi sudah tidak sanggup untuk menanggungkan bencana alam yang sangat dahsyat dengan intensitas yang lebih sering dan dampak yang jauh lebih fatal jika dibandingkan dengan dampak perubahan iklim (Forest Digest, 2021). Gelombang panas diprediksi akan lebih sering terjadi disertai dengan kekeringan hebat yang akan memicu krisis pangan global, curah hujan yang semakin tidak menentu, dan ancaman badai topan yang berada di depan mata (Yusman Syaukat, 2011).

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kenaikan suhu global akibat emisi karbon diprediksi akan meningkat sebesar satu derajat celcius pada kurun lima tahun mendatang, yakni tahun 2020–2024 (World Meteorological Organization, 2020). Tidak ada cara lain selain menetapkan target ambisius dalam mereduksi emisi karbon yang menjadi salah satu kontributor utama perubahan iklim. Adapun komitmen global dalam mereduksi emisi karbon salah satunya direalisasikan melalui traktat iklim, seperti Perjanjian Paris yang beranggotakan berbagai negara dengan reputasi buruk terhadap emiten karbon agar saling bahu-membahu dalam menjaga suhu global di bawah dua derajat celcius. Begitupun dengan komitmen nasional yang sedang berupaya untuk mengakselerasi transisi menuju ekonomi rendah karbon melalui RPJMN 2020–2024 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), Peraturan Presiden №57/2017 terhadap pembangunan berkelanjutan, dan UU №16/2016 yang meratifikasi pokok Perjanjian Paris dalam lingkup nasional.

Komitmen menjadi cakap angin saja apabila hubungan sinergis antara pemerintah dengan masyarakat dalam satu tujuan bersama tidak terwujud sehingga menimbulkan suatu celah ketimpangan antara pihak yang menyikapinya dengan sungguh-sungguh dan pihak yang menyikapinya dengan enggan. Pemerintah sebagai pihak yang merumuskan kebijakan perlu untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap masalah perubahan iklim. Seorang ahli ekonomi dan psikologi, Per Espen Stoknes, mengatakan bahwa perubahan iklim yang kerap diidentikkan dengan pesan malapetaka hanya menimbulkan perasaan bersalah dalam benak individu dan membentuk perilaku yang pasif di mana melibatkan tendensi individu yang berusaha untuk menarik diri dari masalah, mengalihkan pembahasan untuk menenangkan diri, serta menggantungkan harapan baik melalui tangan orang lain. Oleh karena itu, seorang ahli ekonomi lingkungan, Magali Delmas, menyatakan bahwa dibutuhkan suatu intervensi lingkungan yang inklusif bagi masyarakat agar mengubah tendensi perilaku apatis menjadi solutif.

Implikasi manajerial tersebut relevan bagi Indonesia mengingat aksi perubahan iklim membutuhkan sumber pembiayaan sosial yang produktif karena kekurangan pembiayaan dari pemerintah sebesar Rp3,461.3 triliun untuk pendanaan iklim selama 2018–2030 (Indonesia’s Second Biennial Update Report, 2018). Intervensi lingkungan yang melibatkan persepsi sustainable finance (pembiayaan berkelanjutan) melalui dana sosial memiliki uniformitas dengan keuangan syariah di mana terdapat keselarasan antara tujuan SDGs (Sustainable Development Goals) dan prinsip maqashid syariah dengan menekankan tiga prinsip utama, yakni etika, keadilan, dan kesetaraan. Keuangan hijau maupun keuangan syariah berusaha untuk mendorong stabilitas pertumbuhan ekonomi nasional, pemberantasan kemiskinan dan kesenjangan sosial, serta mengupayakan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, terdapat ruang bagi keuangan syariah sebagai motor penggerak pembiayaan proyek hijau (green financing) yang produktif di tanah air.

Salah satu instrumen keuangan syariah berbasis blended crowdfunding, yakni wakaf, memiliki potensi besar sebagai sumber pembiayaan sosial untuk pendanaan iklim. Secara umum, wakaf merupakan perbuatan menyerahkan sebagian harta benda untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu demi kemaslahatan umat (BWI, 2021). Inovasi dalam program wakaf yang kemudian disebut sebagai wakaf hijau merupakan proyek yang diluncurkan pada bulan Agustus 2021 lalu oleh Dr. Irfan Syauqi Beik selaku komisaris Badan Wakaf Indonesia (BWI) beriringan dengan Dr. Lisa Listiana dan Muhaimin Iqbal selaku koordinator dan inisiator program. Pengembangan inovasi wakaf dimaksudkan untuk memfasilitasi aksi aktivis lokal yang kerap menyuarakan masalah lingkungan serta mengamplifikasi urgensi pemberdayaan energi terbarukan untuk menjawab tantangan perubahan iklim sekaligus mewujudkan keamanan energi nasional (national energy security) (Dr. Lisa Listiana, 2021). Program wakaf hijau dalam skala besar berpotensi untuk mengakselerasi peran Indonesia dalam pencapaian ekonomi rendah karbon sekaligus mengkonservasi kekayaan nabati di masa mendatang (Dr. Irfan Syauqi Beik, 2021).

Pembiayaan objek wakaf hijau yang terkonsentrasi dalam pengembangan energi terbarukan sekaligus preservasi lingkungan termaktub dalam tujuan pembangunan berkelanjutan sebagai bentuk realisasi mandat terhadap Allah Swt atas manusia yang merupakan khalifah di muka bumi. Ketiga prinsip keuangan syariah berkonsolidasi dengan prinsip keuangan berkelanjutan sebagai pedoman kehidupan bagi para khalifah agar kokoh berdiri di atas nilai etika, keadilan, dan kesetaraan sebagai sarana untuk mewujudkan inklusivitas nilai maqashid syariah di kalangan masyarakat (Asep Irawan, 2021). Hingga saat ini, ketidakadilan terhadap akses energi maupun eksploitasi lahan hijau masih kerap terjadi di tengah masyarakat sehingga peran khalifah sangatlah dibutuhkan untuk mengatasi ketimpangan tersebut, misalnya melalui dorongan Rasulullah saw untuk menanam pohon dengan keutamaan berupa pahala sedekah hingga hari kiamat kelak maupun jenis praktik wakaf lainnya dalam mewujudkan pasokan energi bersih yang kompetitif dan terjangkau (Prof. Mukhtasor, 2021).

Urgensi terhadap proyeksi pembangunan berkelanjutan yang diwujudkan melalui dua upaya sebelumnya termaktub dalam Surah Hud ayat 61 dan Al-Qashash ayat 77 di mana memiliki intisari yang sama, yakni ishlah yang merupakan tanggung jawab bagi manusia untuk memperbaiki faktor eksternal berupa daya dukung lingkungan sekaligus faktor internal berupa akhlak dan moral yang terpuji. Tidak dapat dipungkiri, literasi yang mumpuni terkait perubahan iklim juga diperlukan untuk mengakomodasi pencapaian terhadap kedua faktor tersebut. Wakaf hijau sebagai sumber pendanaan sosial berpotensi menjadi sarana yang handal dalam mengedukasi masyarakat secara luas melalui transparansi perkembangan dan manfaat proyek-proyek hijau (Sri Mulyani, 2018) yang telah didanai sehingga semakin menarik perhatian dan minat masyarakat dari segala kalangan dalam berwakaf.

Skema pengelolaan wakaf hijau identik dengan wakaf tunai melalui sistem yang terdigitalisasi. Gambaran secara umum diurutkan mulai dari proses penghimpunan dan penerimaan di mana wakif sebagai pihak yang mewakafkan harta uang tunai diharuskan untuk melengkapi registrasi melalui situs Green Waqf dan melakukan pembayaran secara daring dan dimobilisasi oleh LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang). Kemudian, dana wakaf dikelola dan dikembangkan untuk membiayai dua proyek pendanaan iklim, yakni restorasi lahan kritis melalui gerakan menanam pohon dan pemberdayaan energi bersih dan terbarukan oleh nadzir. Hasil dari kedua proyek investasi sebagian dialokasikan sebagai keuntungan nadzir dengan persentase tertentu serta sisanya dialokasikan kepada mauquf alaih atau pihak yang menerima manfaat langsung dari program wakaf hijau, yakni alam itu sendiri maupun masyarakat yang mendapatkan keuntungan atas tujuan pembangunan berkelanjutan (Green Waqf Team, 2021).

Proyeksi manfaat dari pendanaan wakaf hijau diperlukan untuk meninjau efektivitas program investasi melalui acuan data kuantitatif terhadap restorasi iklim dan lingkungan. Menurut Dyah Roro Esti selaku anggota DPR RI Komisi VII mengungkapkan gagasan bahwa wakaf hijau dapat menjunjung resiliensi UU №16 Tahun 2016 sekaligus NDC (Nationally Determined Contribution) untuk menyusutkan emisi karbon domestik sebesar 29% dengan kekuatan sendiri dan 41% dengan bantuan internasional. Penekanan oleh kedua payung hukum sangat memprioritaskan kedua sektor kontributor jejak karbon terbesar, yakni pengurangan emisi sebesar 17% pada sektor kehutanan dan 11% pada sektor energi. Proyek penanaman pohon dengan wakaf dapat mengkonversi emisi karbon menjadi oksigen, mengabsorbsi variasi polutan di udara, menurunkan suhu lingkungan sebesar 2–8 derajat celcius, mencegah erosi, abrasi, penggurunan, dan tanah longsor, serta menyediakan bahan baku dan makanan (Green Waqf Team, 2021).

Sensitibilitas hutan alami terhadap masalah deforestasi akibat pembalakan liar untuk penggunaan lahan baru telah menggiatkan aksi pemerintah dalam menyelamatkan hutan lindung melalui serangkaian regulasi, seperti Instruksi Presiden №5/2019 mengenai penghentian izin dalam penggunaan lahan hutan produksi dan peningkatan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Selain itu, Peraturan Pemerintah №46/2016 juga menegaskan panduan mengenai perencanaan tata guna lahan yang terintegrasi, komprehensif, dan eksplisit di tingkat nasional dan subnasional yang bertujuan untuk ketahanan pangan, air, dan energi. Tak luput bahwa RPJMN 2020–2024 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) juga telah meluaskan target pengawasan dan penghijauan hutan lindung yang mencakup kawasan hutan internal maupun eksternal yang semula sebesar 51.8 Mha menjadi 65.3 Mha dan berhasil untuk menurunkan tingkat deforestasi sebesar 75% selama periode 2018–2020. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang berhasil mencegah deforestasi hutan diproyeksikan akan terus menurunkan emiten karbon domestik sampai dengan batas terendah pada tahun 2050 berdasarkan estimasi LCCP (Low Carbon Compatible with Paris Agreement) (Gambar 1.1).

Gambar 1.1 Proyeksi Penurunan Emisi Karbon (Mitigasi Deforestasi)

Sumber: Indonesia LTS-LCCR 2050

Ketergantungan nasional terhadap pemberdayaan batu bara dalam menghasilkan energi listrik rumah tangga telah menempatkannya sebagai bahan bakar paling dominan dalam komposisi bauran energi nasional, yakni sebesar 59% dibandingkan dengan total pemberdayaan energi terbarukan yang hanya sebesar 16%. Hal ini sangat memicu kerentanan stabilitas iklim domestik mengingat emisi karbon dari pembakaran batu bara sangatlah besar dan tidak sebanding dengan total manfaat yang diberikan sehingga bahan bakar ini sangatlah tidak efisien untuk terus digunakan (Indonesia LTS-LCCR 2050, 2021). Sebagai gantinya, pemberdayaan energi terbarukan sebagai langkah mitigasi iklim dan penguatan keamanan energi nasional diproyeksikan dapat menurunkan emisi karbon dari 1,030 juta ton pada tahun 2030 menjadi 572 juta ton pada tahun 2050 berdasarkan estimasi LCCP (Low Carbon Compatible with Paris Agreement) (Gambar 1.2) yang didukung oleh asumsi bahwa permintaan masyarakat terhadap energi listrik diprediksi akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara dan populasi penduduk yang kian bertambah (Indonesia LTS-LCCR 2050, 2021).

Potensi wakaf hijau sebagai pendanaan proyek energi terbarukan menjadi sangat potensial di mana Indonesia sedang mengejar langkah pemberdayaan energi terbarukan sebesar 23% dari total bauran energi nasional pada tahun 2030 dan memerlukan injeksi dana tambahan sebagaimana yang diungkapkan langsung oleh Arifin Tasrif selaku Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Agustus 2021 silam. Kemudian, beliau juga mengungkapkan bahwa saat pemerintah memiliki fokus utama dalam mengembangkan Pembangkit Energi Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) karena biaya investasi yang relatif rendah, waktu implementasi yang lebih singkat, serta besarnya potensi dari kedua pembangkit listrik untuk diimplementasikan di Indonesia. Hal ini menjadi langkah yang tepat mengingat pemberdayaan yang semakin diintensifikasi akan meningkatkan skala ekonomis energi terbarukan sekaligus menciptakan supply chain yang semakin kompetitif sehingga meningkatkan inklusivitas pasar energi bersih bagi masyarakat Indonesia (IRENA, 2020).

Gambar 1.2 Proyeksi Penurunan Emisi Karbon (Pemberdayaan Energi Terbarukan)

Sumber: Indonesia LTS-LCCR 2050

Akan tetapi, terdapat beberapa tantangan dalam mengembangkan potensi wakaf hijau yang produktif di Indonesia, seperti tingkat pemahaman masyarakat terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim, pemahaman masyarakat terhadap potensi keuangan syariah khususnya wakaf, serta ambivalensi pemerintah dalam menjalankan komitmen terhadap traktat iklim global (Green Waqf Team, 2021). Oleh karena itu, diperlukan adanya hubungan sinergis antara pemerintah dengan masyarakat untuk mencapai satu tujuan bersama, yakni saling bahu-membahu dalam mewujudkan resiliensi iklim nasional yang lebih kondusif di masa mendatang. Misalnya, melalui peran aktif para pegiat lingkungan melalui propaganda sosial dibutuhkan untuk mengedukasi masyarakat awam mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim sekaligus potensi keuangan syariah dalam menjembatani proyek investasi hijau yang diperlukan. Literasi berkelanjutan mengenai iklim sangatlah diperlukan untuk semakin meningkatkan perhatian dan kepedulian masyarakat umum terhadap program wakaf hijau yang ditawarkan.

Kemudian, pemerintah harus semakin ambisius dalam mengejar target traktat iklim global, yakni semakin mendukung perkembangan dari investasi proyek hijau secara bertahap, menghijaukan lahan kritis, serta mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap sumber daya pencipta emiten karbon yang signifikan. Pemerintah sebagai pemain utama dalam regulasi nasional haruslah menyadari bahwa upaya menuju pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu hal yang mudah dan memerlukan dukungan berupa aspirasi dari masyarakatnya. Ketimpangan antara pihak regulator dan ketiadaan aspirasi masyarakatlah yang menyebabkan tendensi keberpihakan regulasi pada satu pihak saja tanpa mementingkan aspirasi bersama dalam target iklim nasional, seperti subsidi energi fosil yang masih saja diprioritaskan, penyulingan minyak bumi yang diintensifikasi sebagai langkah pemenuhan kebutuhan bahan bakar transportasi, serta pembalakan hutan lindung sebagai pembukaan lahan sawit sebagai sumber energi biodiesel (Greenpeace Indonesia, 2021). Oleh karena itu, sangatlah mungkin bahwa pengembangan wakaf hijau yang produktif akan terhambat sebelum pihak regulator dapat menghentikan beberapa regulasi yang ambivalen terhadap komitmen nasional dalam traktat iklim global.

Namun, menurut Bank Indonesia, beberapa ketimpangan tersebut dapat dihentikan dengan mewujudkan beberapa langkah penting dalam mengembangkan potensi wakaf hijau yang produktif. Pertama, kemampuan dalam mendesain proyek produktif berbasis wakaf hijau secara utuh pada kedua proyek hijau yang ditargetkan, yakni penghijauan lahan kritis dan pemberdayaan energi terbarukan melalui dukungan sistem manajemen proyek yang telah distandardisasi. Kedua, kemampuan mendesain manajemen keuangan yang terintegrasi antara instrumen integrasi keuangan komersial dan instrumen keuangan sosial syariah. Ketiga, kepatuhan implementasi terhadap ketentuan-ketentuan syariah dalam proyek. Terakhir, digitalisasi wakaf hijau sebagai sumber katalisator aspek mobilisasi dan penyaluran dana wakaf yang memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam berwakaf dan mendorong efisiensi pengelolaan aset/harta wakaf.

Dengan demikian, potensi wakaf hijau sebagai sumber pendanaan iklim berbasis sosial haruslah didukung secara maksimal pengembangannya agar dapat menjadi produk wakaf yang produktif. Upaya wakaf hijau yang berusaha menyatukan antara kepentingan pemerintah maupun masyarakat agar bersama-sama mencapai target iklim merupakan refleksi nilai persatuan dan musyawarah dalam Islam yang berusaha untuk menyatukan satu kepentingan umat dalam mewujudkan resiliensi iklim nasional yang lebih baik sekaligus mengembangkan potensi keuangan syariah yang sedang sangat berkembang saat ini. Lebih lanjut, menurut Wakil Presiden Indonesia, K.H. Ma’ruf Amin, hubungan sinergis yang tercipta antara pemerintah dan masyarakat akan semakin membangun kepercayaan publik terhadap wakaf, meningkatkan kompetensi pihak yang menerima harta wakaf untuk dikelola (nadzir), meningkatkan literasi dan edukasi perwakafan, serta menciptakan harmonisasi antar lembaga dan perundang-undangan yang berlaku sehingga mencegah potensi kebijakan pemerintah yang ambivalen.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi
Sukmana, R. (2020). Critical assessment of Islamic endowment funds (Waqf) literature: lesson for government and future directions. Heliyon, 6(10), e05074. https://doi.org/10.1016/J.HELIYON.2020.E05074.
Darus, F., Ahmad Shukri, N. H., Yusoff, H., Ramli, A., Mohamed Zain, M., & Abu Bakar, N. A. (2017). Empowering social responsibility of Islamic organizations through Waqf. Research in International Business and Finance, 42, 959–965. https://doi.org/10.1016/J.RIBAF.2017.07.030.
Ari, I., & Koc, M. (2021). Towards sustainable financing models: A proof-of-concept for a waqf-based alternative financing model for renewable energy investments. Borsa Istanbul Review, 21, S46–S56. https://doi.org/10.1016/J.BIR.2021.03.007.
Yesuf, A. J., & Aassouli, D. (2020). Exploring synergies and performance evaluation between Islamic funds and socially responsible investment (SRIs) in light of the Sustainable Development Goals (SDGs). Heliyon, 6(8), e04562. https://doi.org/10.1016/J.HELIYON.2020.E04562.
Rahman, A., Dargusch, P., & Wadley, D. (2021). The political economy of oil supply in Indonesia and the implications for renewable energy development. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 144, 111027. https://doi.org/10.1016/J.RSER.2021.111027.
Arifin, M., & Amhar. (2013). Islamic Eco-Ethics: Landasan Filosofis Ideal Implementasi Ekonomi Hijau di Indonesia<BR>[Islamic Eco-Ethics: Ideal Philosophical Base to Implement Green Economy in Indonesia]. MPRA Paper. https://ideas.repec.org/p/pra/mprapa/61437.html.
Wolske, K. S., & Stern, P. C. (2018). Contributions of psychology to limiting climate change: Opportunities through consumer behavior. Psychology and Climate Change: Human Perceptions, Impacts, and Responses, 127–160. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-813130-5.00007-2.
Palomo-Vélez, G., & van Vugt, M. (2021). The evolutionary psychology of climate change behaviors: Insights and applications. Current Opinion in Psychology, 42, 54–59. https://doi.org/10.1016/J.COPSYC.2021.03.006.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2021). Indonesia Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050. Dilansir melalui https://unfccc.int/sites/default/files/resource/Indonesia_LTS-LCCR_2021.pdf.
Greenpeace Indonesia. (2021). Tanggapan: Greenpeace Indonesia Mendesak Target dan Kerja Sama yang Lebih Ambisius Setelah Perjanjian Indonesia dan Norwegia Berakhir. Dilansir melalui https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/45240/tanggapan-greenpeace-indonesia-mendesak-target-dan-kerja-sama-yang-lebih-ambisius-setelah-perjanjian-indonesia-dan-norwegia-berakhir/.
Greenpeace Indonesia. (2021). Green Waqf: Wakaf Sebagai Solusi Perbaikan Alam dan Kemandirian Energi. Dilansir melalui https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/45240/tanggapan-greenpeace-indonesia-mendesak-target-dan-kerja-sama-yang-lebih-ambisius-setelah-perjanjian-indonesia-dan-norwegia-berakhir/.

--

--

IBEC FEB UI
IBEC FEB UI

Written by IBEC FEB UI

Islamic Business and Economics Community Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

No responses yet