Semarak Fast Fashion Lebaran: Peluang atau Ancaman
Oleh: Rahmat Tri Swasono (Ilmu Ekonomi Islam 2021), Staf Departemen Kajian IBEC FEB UI 2022
Berkah bulan Ramadhan bukan menjadi omong kosong belaka. Dilansir melalui SurveySensum belanja masyarakat pada Ramadhan 2022 diproyeksikan mengalami kenaikan sebesar 10% dari bulan Ramadhan pada tahun sebelumnya. Masyarakat menganggarkan rata-rata sebesar Rp6,9 juta untuk belanja pada bulan Ramadhan tahun ini. Selain itu, survei yang dilakukan oleh Populix juga menunjukkan pengeluaran masyarakat melonjak sebesar 50% saat Ramadhan. Peningkatan pengeluaran tersebut mendorong harga-harga naik sehingga pada Maret 2022, Indonesia mencatatkan inflasi sebesar 0,66% (MoM). Angka ini menunjukkan kenaikan dibanding bulan sebelumnya yang mencatatkan deflasi sebesar 0,02% (MoM), (BPS, 2022). Peningkatan daya beli konsumen tersebut merupakan salah satu Ramadhan Effect yang berdampak positif terhadap perekonomian di tengah pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi.
Pengeluaran rumah tangga meningkat saat Ramadhan bukan tanpa alasan. Persiapan stok makanan & minuman, membeli pakaian baru, dan membeli perlengkapan sholat, menjadi beberapa alasan yang menyebabkan konsumen perlu meningkatkan anggaran belanjanya. Menariknya, melalui survei yang dilakukan oleh Populix, sebanyak 43% responden mempersiapkan Ramadhan dengan membeli baju baru, angka tersebut lebih tinggi dibanding responden yang mempersiapkan Ramadhan dengan membeli perlengkapan sholat yang sebanyak 30%.
Membeli pakaian baru sudah menjadi budaya masyarakat saat Ramadhan khususnya menjelang Hari Raya Idulfitri (lebaran). Hal ini memberikan angin segar bagi industri fashion halal di Indonesia. Menjelang lebaran, peningkatan permintaan terhadap pakaian meningkat hingga 200–300% (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, 2022). Tentunya, efek dari hal ini adalah pendapatan produsen pakaian yang meningkat. Sebuah statistik mengejutkan menyatakan bahwa kelompok milenial muslim adalah salah satu konsumen terbesar dari produk pakaian modis. Bahkan, pasar pakaian modis diproyeksikan akan bernilai USD 402 miliar pada tahun 2024 (GIEI). Di Indonesia, produk fashion halal adalah produk halal yang paling banyak dibeli konsumen di toko online (e-commerce) pada tahun 2020, dengan proporsi transaksinya sebesar 86,63% (Katadata, 2021).
Dampak positif peningkatan daya beli produk pakaian merupakan kabar baik bagi pemulihan perekonomian pasca dilanda pandemi COVID-19. Namun, sekaligus membawa kabar yang kurang sedap didengar. Pasar pakaian modis yang didominasi produk fast fashion adalah kabar kurang baik tersebut. Fast fashion adalah konsep yang muncul karena pesatnya perkembangan industri fashion sehingga menuntut produsen untuk mengikuti tren fashion design yang sangat cepat berubah dan dengan harga produk yang murah. Kehadiran e-commerce di tengah masyarakat digital turut meningkatkan animo permintaan masyarakat atas produk fashion yang trendy dan terjangkau. Karena harus terus berganti model produk untuk menyesuaikan permintaan pasar, pakaian yang sudah tidak sesuai tren seringkali dibuang, tidak digunakan, tidak didonasikan dan tidak didaur ulang. Hal ini meningkatkan limbah yang menyebabkan polusi air, tanah, dan udara yang dapat merusak lingkungan. Hal tersebut diperkuat dengan data bahwa industri fashion berkontribusi dalam peningkatan emisi karbon yaitu sebesar 10% dari emisi karbon tahunan, atau senilai 1,2 miliar ton (UNEP & Ellen MacArthur Foundation). Kehadiran pasar produk fast fashion dapat mengganggu upaya penanggulangan pemanasan global dan perubahan iklim di dunia. Masalah ini cukup tricky di mana permintaan akan produk tersebut terus meningkat namun bersamaan dengannya dampak negatif yang ditimbulkan pun turut bertambah. Sehingga permasalahan ini menyangkut dari sisi permintaan dan penawaran.
Ketika sebuah industri mendapatkan keuntungan dari peningkatan permintaan/pembelian, hal yang semestinya terjadi adalah para pekerja di industri tersebut semakin sejahtera. Ironisnya, dari seluruh dunia, pekerja dalam industri fashion yang mendapatkan upah layak hanya berjumlah 2% (ABLE). Salah satunya disebabkan oleh tuntutan untuk memenuhi besarnya permintaan produk, perusahaan-perusahaan fashion besar asal negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris berlomba-lomba meningkatkan kapasitas produksinya dengan membangun pabrik-pabrik tekstil di negara berkembang yang memiliki tingkat upah pekerja yang lebih rendah. Minimalisasi biaya tersebut berimplikasi terhadap kemampuan perusahaan menyediakan produk dengan harga yang terjangkau. Selain itu, tren fast fashion turut berdampak pada gaya hidup konsumen yang menjadi lebih konsumtif terhadap produk-produk fashion. Ditambah lagi, adanya promo potongan harga dan cashback yang menjamur ketika menjelang perayaan lebaran.
Prahara trade off antara peningkatan efisiensi perekonomian dengan keberlanjutan lingkungan menjadi topik yang selalu hangat untuk dibahas. Aspek keberlanjutan lingkungan seringkali dinomorduakan untuk mencapai profit yang maksimum dalam industri tertentu, contoh yang paling umum adalah dalam industri pertambangan. Prahara tersebut juga terjadi dalam industri fashion yaitu dalam fenomena fast fashion. Untuk memaksimumkan kepuasannya, konsumen pakaian modis terus-menerus membeli pakaian baru dengan tren yang terkini. Perilaku tersebut menuntut produsen untuk memaksimumkan laba yang berimplikasi terhadap peningkatan limbah tekstil yang merusak lingkungan.
Islam melalui syariatnya sebenarnya menuntut umatnya untuk selalu mempertimbangkan aspek lingkungan dalam kegiatan ekonomi baik ketika menjadi produsen maupun konsumen. Islam menggunakan pandangan multidimensional untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam hal ini adalah pembangunan ekonomi yang memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Selama ini, pembahasan perilaku konsumen secara konvensional hanya berkutat pada manusia yang melakukan kegiatan konsumsi dengan orientasi kepentingan individu (self interest). Di mana konsumen bertujuan untuk memaksimumkan kepuasannya dengan mengonsumsi barang/jasa yang lebih banyak. Dalam Islam, konsumen tipe ini berada dalam tingkatan terendah. Aksioma/asumsi tambahan diperlukan untuk merasionalisasikan perilaku konsumen untuk lebih sesuai dengan prinsip maqashid syariah. Beberapa asumsi tambahan tersebut adalah, ketika melakukan kegiatan konsumsi, konsumen harus memilih produk yang halal, mengikuti prioritas (dharuriyah — hajiyah — tahsiniyah), berorientasi pada maslahah, dan pendapatan yang lebih tinggi mencerminkan maslahah yang lebih tinggi.
Pada dasarnya, pakaian merupakan barang kebutuhan primer (dharuriyah). Pakaian cukup sebagai penutup badan agar badan tidak mengalami kedinginan. Sehingga dalam hal ini, pakaian modis yang sesuai dengan tren dapat diasumsikan termasuk ke dalam kebutuhan tersier (tahsiniyah). Perilaku konsumen dalam Islam yang rasional adalah konsumen yang mengikuti prioritas kebutuhannya berdasarkan kategori primer (dharuriyah), sekunder (hajiyah), lalu tersier (tahsiniyah). Sehingga pemenuhan kebutuhan tersier bukan menjadi kebutuhan yang didahulukan. Pemahaman ini dapat diterapkan ketika membeli pakaian baru untuk dipakai ketika Hari Raya Idul Fitri. Keyakinan bahwa Hari Raya Idul Fitri adalah hari di mana semua individu kembali ke fitrah, bersihnya dosa setelah sebulan berpuasa, saling bermaaf-maafan dengan kerabat. Sehingga pakaian yang dikenakan pada hari suci tersebut pun harus pakaian yang paling indah. Namun, orang-orang seringkali terlalu mengikuti hawa nafsunya dengan membeli banyak pakaian baru untuk kebutuhan outfit lebaran yang dipakai beberapa hari saja. Disini, kita dapat merefleksikan diri kembali. Apakah kita benar-benar memerlukan pakaian baru? karena pakaian yang bagus pun tidak berarti harus baru. Kita harus jeli membedakan apakah kita sebenarnya memiliki kebutuhan untuk membeli pakaian baru ataukah hanya ingin membeli pakaian baru tersebut. Pertimbangan tersebut dapat menahan diri kita dari konsumsi yang impulsif dan konsumtif. Serta menjadikan kita lebih menghargai nilai guna sebuah barang. Dalam sebuah riwayat dijelaskan:
لَيْسَ الْعَيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ إِنَّمَا الْعَيْدُ لِمَنْ خَافَ يَوْمَ الْوَعِيْدِ
“Hari raya itu bukan bagi orang yang memakai pakaian baru, Akan tetapi hari raya bagi mereka yang takut terhadap hari pembalasan.” (Khalifah Umar bin Abdul Aziz)
Kita dapat meresapi kembali esensi Hari Raya Idul Fitri dengan tidak mengendorkan amalan-amalan yang rajin kita lakukan ketika bulan Ramadhan. Iman dan jiwa yang telah dibersihkan adalah representasi dari upaya menahan nafsu makan, minum, dan bermaksiat selama sebulan.
Tidak hanya dari sisi konsumen, pendekatan terhadap kasus fast fashion juga mencakup perilaku produsen. Pengelolaan sumber daya produksi secara optimal, tidak boros, berlebihan, dan merusak lingkungan adalah salah satu prinsip produksi yang rasional menurut Islam. Selain itu, produsen yang sesuai dengan semangat maqashid syariah adalah produsen yang mampu mendistribusikan laba perusahaannya kepada para pekerja dengan adil, sehingga para pekerja mendapatkan hak atas pekerjaannya dan menjadi lebih sejahtera. Karena dalam Islam, maksimisasi laba bukan menjadi tujuan yang paling penting dalam kegiatan produksi. Produksi juga harus mempertimbangkan social interest dan environmental interest yaitu kegiatan tersebut mampu memberikan kemaslahatan yang seluas-luasnya bagi lingkungan dan sosial. Sehingga produksi bertujuan untuk memaksimumkan maslahah, bukan semata-mata memaksimumkan laba.
Pendekatan pendapatan (revenue approach) dan pendekatan biaya (cost approach) merupakan dua pendekatan untuk memaksimalkan maslahah dalam proses produksi. Dalam pendekatan biaya, dikenal istilah biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit muncul secara eksplisit dari dilaksanakannya proses produksi, seperti biaya gaji, biaya operasional, dan biaya bahan baku. Sedangkan biaya implisit adalah biaya yang muncul secara implisit dari proses produksi, misalnya kerusakan lingkungan, dan eksploitasi buruh. Sedangkan dalam pendekatan pendapatan, terdapat istilah pendapatan eksplisit dan pendapatan implisit. Pendapatan eksplisit adalah nominal laba yang diterima produsen dari proses produksinya. Sedangkan pendapatan implisit adalah dampak positif yang ditimbulkan proses produksi terhadap lingkungannya baik sosial maupun lingkungan. Misalnya meningkatkan kesejahteraan pekerja, dan menjaga keseimbangan alam.
Untuk dapat memperoleh maslahah yang optimum, produsen fast fashion perlu mempertimbangkan biaya implisit dan pendapatan implisit dari kegiatan produksinya. Dapat dilihat bahwa penciptaan produk fast fashion memberikan biaya implisit dengan meningkatkan limbah tekstil beserta emisi karbon. Kesejahteraan pekerja dalam industri fast fashion masih belum cukup memenuhi kriteria untuk dikatakan cukup sejahtera. Di sisi lain, konsumen menjadi lebih konsumtif dan impulsif akibat tren model fashion yang kian berubah. Walaupun, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan fenomena fast fashion menimbulkan efek positif yaitu meningkatkan inovasi dalam industri fashion. Serta berkontribusi dalam pertumbuhan perekonomian.
Biaya implisit dari produk fast fashion dapat diminimalisasi dengan menciptakan produk sustainable fashion dan ethical fashion. Ethical fashion bermakna bahwa proses produksi harus etis terhadap lingkungan dan etis terhadap kemanusiaan (tenaga kerja). Sedangkan sustainable fashion bertujuan untuk mengubah cara produksi dan konsumsi bersamaan dengan semua pihak terlibat meliputi fashion designer, produsen, distributor, dan konsumen (Kulsum, 2020). Sehingga sustainable fashion mencakup tiga aspek yaitu lingkungan, sosial, dan ekonomi, dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi tanpa memberikan eksternalitas negatif terhadap lingkungan dan sosial. Aspek estetika dan kultural adalah aspek tambahan yang memperluas sustainability (Kozlowski & Bardecki 2019). Untuk memenuhi aspek estetika, produsen dapat menciptakan produk dengan desain yang selalu terlihat menarik, tidak lekang waktu (timeless), dan tahan lama. Perlakukan terhadap sumber daya dan tenaga kerja harus layak untuk memenuhi aspek kultural yaitu aspek yang berkaitan dengan budaya atau etika. Dewasa ini, tak sedikit brand fashion lokal yang telah menerapkan sustainable fashion pada produknya diantaranya adalah Kana Goods, Imaji Studio, Sejauh Mata Memandang, Sukkha Citta, Pijakbumi, Lanivatti, Canaan Studio, Biasa, Cinta Bumi Artisans, Seratus Kapas, Hlaii, Osem, dan masih banyak lagi. Walaupun belum tentu memiliki model bisnis yang sepenuhnya syariah. Brand-brand fashion di atas telah mewujudkan maqashid syariah dengan memberikan maslahah kepada lingkungan.
Nilai-nilai keislaman menjadi pondasi bagi ekonomi syariah untuk menghasilkan kemaslahatan secara inklusif. Ketika menjadi seorang konsumen, prinsip Islam mengarahkan kita untuk lebih berorientasi kepada konsep kebutuhan (need) daripada keinginan (want). Sedangkan konsep produksi Islam mengandung prinsip bahwa kegiatan produksi memiliki multi interest yaitu mendapatkan keuntungan, memenuhi kebutuhan masyarakat, menimbulkan kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Orientasi yang ingin dicapai oleh para pelaku ekonomi dengan prinsip Islam adalah menjangkau pada aspek yang universal dan berdimensi spiritual. Dalam Q.S Thaha/20:81 Allah berfirman:
كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْۙ وَلَا تَطْغَوْا فِيْهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِيْۚ وَمَنْ يَّحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِيْ فَقَدْ هَوٰى
“Makanlah dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Barangsiapa ditimpa kemurkaan-Ku, maka sungguh, binasalah dia.”
Kehadiran fenomena fast fashion dan momen lebaran mendatangkan peluang dan dampak positif terhadap perekonomian. Di sisi lain, melahirkan ancaman bagi lingkungan dan kesejahteraan sosial, serta beberapa aspek yang dapat menjauhkan kita dari perilaku ekonomi yang sesuai dengan prinsip keislaman. Islam menjangkau segala aspek dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Islam bukan hanya ritual keagamaan, namun juga nilai-nilai praktis dalam kehidupan yang membangun sebuah peradaban. Akankah momen lebaran mengancam kita dengan membuat kita lalai dalam mengambil hak yang kita miliki ataukah menjadi sebuah peluang untuk menumbuhkan pandangan multidimensi terhadap efek-efek dari perilaku yang kita lakukan?
Referensi
Niinimäki, K., Peters, G., Dahlbo, H., Perry, P., Rissanen, T., & Gwilt, A. (2020). The environmental price of fast fashion. Nature Reviews Earth & Environment, 1(4), 189–200.
Long, X., & Nasiry, J. (2022). Sustainability in the fast fashion industry. Manufacturing & Service Operations Management.
Mubarok, S. (2018). ISLAM DAN SUSTAINABLE DEVELOPMENT: Studi Kasus Menjaga Lingkungan dan Ekonomi Berkeadilan. Dauliyah Journal of Islamic and International Affairs, 3(1), 129–146.
Andi Bahri, S. (2014). Etika Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Islam. dalam Hunafa: Jurnal Studia Islamika, 11.
Kamma, H. (2015). Urgensi Teori Produksi dan perilaku produsen dalam perspektif Islam. MUAMALAH, 5(1), 59–70.
Endrayana, J. P. M., & Retnasari, D. (2021). PENERAPAN SUSTAINABLE FASHION DAN ETHICAL FASHION DALAM MENGHADAPI DAMPAK NEGATIF FAST FASHION. Prosiding Pendidikan Teknik Boga Busana, 16(1).
Lubis, A. I. F. (2019). Implementasi Model Pengembangan Industri Halal Fashion Di Indonesia. JEpa, 4(2), 9–19.
Tanzil, M. Y. (2017). The Sustainable Practices Of Indonesian Fashion Brands.
Ali, A. H. MENEGUHKAN KEMBALI KONSEP PRODUKSI DALAM EKONOMI ISLAM.
Kementerian Agama. (n.d). Surat Thaha/20:81. Qur’an Kemenag. https://quran.kemenag.go.id/sura/20.