Keuangan Digital Syariah: Kunci Pemulihan Ekonomi Berkelanjutan di Indonesia
Oleh: Muhammad Rayhan Rakananda (Ilmu Ekonomi Islam 2019)
Overview
Jika kita analogikan pandemi Covid-19, ini seperti gempa bumi berkekuatan 9,8 Skala Richter: Tidak dapat diprediksi dan sangat merusak. Saat itu pada Desember 2019 ketika virus corona pertama kali muncul di Wuhan, banyak ekonom pada saat itu memperhatikan dampak masa rileksnya Perang Dagang antara AS dan Tiongkok. Mereka percaya bahwa fenomena ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi global setelah bertahun-tahun adanya ketidakpastian ekonomi karena Perang Dagang. Ditambah lagi dengan kepercayaan yang sedikit terhadap peringatan para ahli epidemiologi tentang virus ini, dan hasilnya adalah virus corona mendominasi kehidupan kita sehari-hari selama 1 tahun 5 bulan per hari ini dan masih berlangsung.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi negatif selama empat kuartal berturut-turut, dari Q2 2020 — Q1 2021. Dengan nilai -5,32%, -3,49%, -2,19% , -0,71% berturut-turut; tahun ke tahun (yoy). Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami depresi ekonomi yang panjang, hingga pada Q2 2021 Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07% menurut BPS. Menurut Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono, empat sektor besar di Indonesia mencatat pertumbuhan positif selama Q2 2021: Manufaktur, transportasi dan logistik, akomodasi dan Makanan & Minuman, dan perdagangan. Erwin juga menyatakan bahwa konsumsi rumah tangga meningkat sebesar 5,93% yoy pada Q2 2021.
Salah satu faktor yang menyebabkan fenomena ini adalah ekspansi penggunaan keuangan digital. Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, menyatakan penggunaan layanan keuangan digital telah meningkat 25% sejak awal wabah covid-19 hingga Juli 2020. Di saat interaksi fisik dan transaksi secara fisik dibatasi, keuangan digital menjadi cara jitu untuk menjaga daya beli konsumen selama tinggal di rumah. Tren itu bisa menjadi lebih besar karena merebaknya virus corona varian delta yang menyebabkan ketidakpastian lebih tinggi. Oleh karena itu, keuangan digital merupakan inovasi wajib yang harus direalisasikan di masa krisis ini untuk mendorong pemulihan ekonomi. Dan dengan sifat teknologi yang terus berkembang, dampak ini dapat dirasakan secara berkelanjutan.
Mengapa Keuangan Digital Syariah?
Sekarang, ke pertanyaan berikutnya. Apa kontribusi keuangan syariah terhadap ekosistem keuangan digital yang juga dapat mendorong pemulihan ekonomi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu membahas tujuan keuangan Islam itu sendiri.
Tidak seperti keuangan konvensional yang tidak terlalu memperhatikan fiqh Islam, keuangan Islam justru melakukan itu sebagai dasar pengembangan instrumen. Fiqh Islam adalah aturan Islam itu sendiri dalam menjalani kehidupan kita, dan dalam konteks ini, serta mengatur transaksi ekonomi. Fiqh ini memiliki satu tujuan: mewujudkan hakikat Islam sebagai rahmatan-lil-’alamin (berkah bagi alam semesta). Contoh penerapannya adalah larangan maghrib (maysir, gharar, dan riba) di dalam transaksi untuk memastikan transaksi itu adil bagi semua pihak. Bentuk implementasi lainnya adalah pembagian risiko dalam transaksi untuk memitigasi deadweight loss yang besar bagi satu pihak dan untuk mendorong efisiensi ekonomi.
Saat ini, keuangan Islam berkembang dalam berbagai bentuk, seperti bank syariah, asuransi syariah (takaful), pasar modal syariah, dan dana sosial syariah. Dilansir dari Bisnis.com, pangsa pasar keuangan syariah per Februari 2021 berada di 9,96%, sedangkan pada April 2020 berada di 9,03%. Salah satu alasannya adalah perkembangan keuangan syariah di Indonesia diprakarsai secara top-down dan bottom-up. Di Indonesia, karena sebagian besar penduduknya beragama Islam, mereka cenderung memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap produk non-halal, terutama pada produk konsumsi. Dan hal ini tentunya akan berdampak kepada cara transaksi/keuangan, yang permintaannya juga meningkat. Sementara dalam perspektif top-down, banyak lembaga pemerintah seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia memberikan perhatian khusus pada sektor ini, seperti memberikan pandangan, melakukan penelitian, dan menciptakan infrastruktur hukum untuk keuangan syariah.
Namun, ada kesenjangan yang sangat besar antara keuangan syariah dan keuangan secara nasional, baik dalam tingkat literasi maupun inklusi. Dilaporkan dari Tempo, Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, menyatakan pada 2020 inklusi keuangan syariah berada di 9,1%, sedangkan inklusi keuangan nasional 76,1%. Sedangkan literasi keuangan syariah mencapai 8,93% sedangkan literasi keuangan nasional 38,03%. Artinya, sebagian besar masyarakat di Indonesia telah memperoleh akses ke layanan keuangan yang memadai dan cukup banyak yang dapat mengelola uang mereka secara sistematis. Namun, jika berbicara tentang keuangan syariah, masih sangat asing bagi kita, baik secara literasi maupun inklusi. Oleh karena itu, kita bisa melihat ini sebagai peluang.
Dengan pangsa pasar yang meningkat dan literasi dan inklusi yang rendah, keuangan syariah harus go digital untuk meningkatkan tingkat literasi dan inklusi, sehingga dapat meningkatkan pangsa pasarnya. Pada dasarnya, killing three birds with one stone.
Dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi, para praktisi keuangan syariah sudah semakin mudah mengedukasi masyarakat tentang keuangan syariah, contohnya pengelolaan uang secara syariah dan lembaga keuangan syariah. Serta semakin mudah melakukan transaksi sesuai syariah dengan melakukannya secara online. Hal ini juga didukung dengan data yang dilansir dari Kata Data, tingkat penetrasi internet di Indonesia adalah 76,8% pada Maret 2021. Secara eksplisit, data tersebut memberitahu kita bahwa digitalisasi itu nyata dan ada di sekitar kita. Oleh karena itu, dengan pemanfaatan teknologi digital, kita dapat lebih meningkatkan tingkat inklusi dan literasi sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar keuangan syariah. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan transaksi keuangan sesuai syariah, yang dapat memperkuat perekonomian, sehingga dapat terjadi pemulihan ekonomi. Sebab, transaksi di keuangan syariah juga harus berdampak pada sektor riil. Selain itu, keuangan syariah dapat mengurangi kesenjangan antara si kaya dan si miskin karena penekanannya pada keuangan sosial sama dengan keuangan komersial dengan menggunakan fiqh Islam.
Kesimpulan
Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk berdiam diri di rumah untuk memutus mata rantai penularan, menyebabkan perekonomian lesu, sehingga menyebabkan Indonesia mengalami resesi selama empat kuartal. Inovasi ekonomi digital menjadi hal yang wajib direalisasikan untuk menjaga daya beli masyarakat dengan kemudahan bertransaksi. Sektor keuangan syariah juga harus memasuki arena persaingan ini untuk meningkatkan tingkat literasi dan inklusinya, sehingga meningkatkan pangsa pasarnya. Dengan demikian, keuangan syariah dapat menjadi kunci bagi pemulihan ekonomi yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga menciptakan masyarakat yang adil dan makmur sesuai syariah dengan mengurangi kesenjangan masyarakat di Indonesia.
Wallahua’lam bisshowaab
Referensi
Alfi, A., (2021). Keuangan Syariah Melesat. OJK: Jangan Bangga Dulu! Masih Banyak Tantangan. Diakses pada 30 Agustus 2021 dari https://finansial.bisnis.com/read/20210426/231/1386172/keuangan- syariah-melesat-ojk-jangan-bangga-dulu-masih-banyak-tantangan
Badan Pusat Statistik. (2020). Ekonomi Indonesia 2020 Turun Sebesar 2,07 Persen. Diakses pada 30 Agustus 2021 dari https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/02/05/1811/ekonomi- indonesia-2020-turun-sebesar-2–07-persen — c-to-c-.html
Badan Pusat Statistik. (2020). Ekonomi Indonesia Triwulan II 2020 Turun 5,32 Persen. Diakses pada 30 Agustus 2021 dari https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/08/05/1737/-ekonomi- indonesia-triwulan-ii-2020-turun-5–32-persen.html
Badan Pusat Statistik. (2020). Ekonomi Indonesia Triwulan III 2020 Tumbuh 5,05 Persen. Diakses pada 30 Agustus 2021 dari https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/11/05/1738/ekonomi- indonesia-triwulan-iii-2020-tumbuh-5–05-persen — q-to-q-.html
Badan Pusat Statistik. (2021). Ekonomi Indonesia Triwulan I 2021 Turun 0,74 Persen. Diakses pada 30 Agustus 2021 dari https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/05/05/1812/ekonomi- indonesia-triwulan-i-2021-turun-0–74-persen — y-on-y-.html
Bank Indonesia. (2021). Ekonomi Indonesia Melanjutkan Perbaikan, Tumbuh Positif pada Triwulan II 2021. Diakses pada 30 Agustus 2021 dari https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news release/Pages/sp_2319221.aspx
Databoks.katadata.co.id. (2021). Penetrasi Internet Indonesia Urutan ke-15 di Asia pada 2021. Diakses pada 31 Agustus 2021 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/07/12/penetrasi-internet indonesia-urutan-ke-15-di-asia-pada-2021
Kementerian Keuangan. (2021). Transaksi Ekonomi Digital Meningkat 25% Selama Pandemi. Diakses pada 31 Agustus 2021 dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/transaksi-ekonomi-digital- meningkat-25-selama-pandemi/
Silaban, M., (2021). Tak Capai 10 Persen, OJK Sebut Indeks Literasi Keuangan Syariah Masih Rendah. Diakses pada 31 Agustus 2021 dari https://bisnis.tempo.co/read/1424676/tak-capai-10-persen-ojk-sebut- indeks-literasi-keuangan-syariah-masih-rendah
Wiratmini, N., (2021). Pangsa Pasar Keuangan Syariah Per April 2020 Naik Jadi 9,03 Persen. Diakses pada 31 Agustus 2021 dari https://finansial.bisnis.com/read/20200702/231/1260686/pangsa-pasar- keuangan-syariah-per-april-2020-naik-jadi-903-persen