Jumping on the Bandwagon: Cryptocurrency on Islamic Perspective
Oleh: Nabila Fakhrin Nisa (Ilmu Ekonomi Islam 2021), Staf Departemen Kajian IBEC FEB UI 2022
A Glimpse of Cryptocurrency
Beberapa waktu lalu, masyarakat tengah digemparkan dengan kehadiran cryptocurrency. Dilansir dari laman Kata Data, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) telah mencatat bahwa terdapat sekitar 12,4 juta investor yang berkecimpung di dunia kripto atau telah bertambah sebesar 532.102 investor dibandingkan tahun sebelumnya. Total angka tersebut dinilai melampaui pasar modal yang hanya berjumlah 8,1 juta investor. Sejak saat itu, produk cryptocurrency menjadi semakin ramai dilirik karena dirasa memberikan imbal hasil yang menarik, yakni keuntungan yang begitu besar dalam waktu yang singkat. Tentu, kehadirannya turut menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Lantas, sebenarnya apa cryptocurrency itu?
Secara sederhana, cryptocurrency merupakan sebuah mata uang digital (virtual), hal ini berarti tidak memiliki bentuk fisik layaknya mata uang di dunia nyata. Walaupun hanya sebatas virtual, crypto sendiri memiliki nilai yang dapat dikatakan cukup tinggi dan dapat berfungsi sebagai alat tukar atau penyimpan nilai. Akan tetapi, crypto tidak memenuhi status sebagai alat pembayaran sah sebab tidak dikeluarkan atau dijamin oleh yurisdiksi mana pun, tetapi memenuhi fungsi di atas dengan kesepakatan di antara komunitas pengguna mata uang virtual dalam transaksi jual beli. Mata uang digital (virtual) ini dijamin oleh cryptography sehingga berkemungkinan besar tidak dapat dipalsukan. Jenisnya pun bermacam, seperti bitcoin (pertama dan terbesar), litecoin, dogecoin, ethereum, tether, USD coin, binance coin, dan berbagai jenis lainnya. Meskipun jumlahnya begitu banyak, sayangnya hanya beberapa aset crypto saja yang telah mengantongi izin di Indonesia.
Sebelum memasuki ranah lebih dalam terkait cryptocurrency, alangkah lebih baiknya kita mengenal lebih dahulu apa itu teknologi blockchain. Blockchain, terdiri atas dua kata, yakni ‘block’ dan ‘chain.’ Makna block berarti digunakan untuk menyimpan seluruh data informasi lalu terkunci dengan kode-kode unik dan tersebar ke seluruh server yang ada di dalam ekosistem tersebut melalui chain. Teknologi ini begitu berguna untuk menjaga keamanan data karena data yang tersimpan bersifat decentralized finance (deFi). Decentralization memiliki makna layanan keuangan menggunakan serangkaian kontrak dan algoritma tertentu dalam layanannya. Kontrak disini merupakan perjanjian otomatis tanpa memerlukan pihak ketiga sehingga tidak dikelola oleh server terpusat (tidak terdapat otoritas administrasi atau pengawasan). Walaupun demikian, seluruh transaksi yang dilakukan tetap tercatat dalam blockchain. Adapun proses pencatatan sendiri dilakukan oleh penambang cryptocurrency yang berperan dalam menjalankan server dan otorisasi (verifikasi) transaksi dengan sederet software dan pemecahan algoritma. Prosesnya, yakni melakukan pemecahan teka-teki cryptography guna memvalidasi transaksi. Apabila berhasil, penambang tersebut akan mendapat komisi berupa uang digital yang dapat dipakai.
Dalam suatu ekosistem blockchain sendiri terdiri atas banyak cryptocurrency. Cryptocurrency ini digunakan untuk pembayaran dalam setiap validasi transaksi data yang tersimpan. Para penerbit crypto juga memiliki suatu atau beberapa project yang mereka lakukan di sektor riil, terlepas apakah project tersebut tergolong scam atau tidak.
Dua sisi cryptocurrency
Bak dua sisi mata pisau, cryptocurrency memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kehadiran cryptocurrency tentunya memiliki keunikannya sendiri. Pasalnya, perkembangan cryptocurrency atau sistem blockchain dapat dinilai dan dikatakan lebih pesat dibanding perkembangan internet pada masa awal. Kelebihan lainnya, setiap orang dapat bertransaksi tanpa terbatas oleh apapun, baik tempat maupun waktu. Hal ini dikarenakan cryptocurrency tidak menganut sistem libur bank, batasan negara, birokrasi, dan lainnya. Kemudahan inilah yang menjadikan cryptocurrency terlihat lebih mudah dan praktis. Seperti yang telah dibahas di awal, cryptocurrency ini dijamin oleh cryptography sehingga memiliki potensi besar dalam hal anti-pemalsuan.
Menilik sisi kekurangannya, cryptocurrency dinilai memiliki tingkat volatilitas tinggi, yakni terjadinya ketidakstabilan nilai mata uang (turun atau naik) dalam waktu yang begitu singkat sehingga menjadi lebih sulit diprediksi. Crypto juga dinilai kurang relevan sebagai pengganti mata uang karena sifatnya yang dinilai masih ‘menggendong’ servernya, hal ini kurang sesuai dengan tujuan awal bersifat bebas. Selanjutnya, meskipun tergolong decentralized finance, crypto sendiri masih dapat diintervensi oleh pemerintah. Selain itu, pengguna juga rentan masuk ke dalam aktivitas ilegal, pencucian uang misalnya, karena tidak menggunakan identitas asli. Selain itu, muncul pula perspektif negatif terkait cryptocurrency dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa menyatakan bahwa bitcoin, salah satu coin dalam cryptocurrency, memiliki nilai nol. Nassim Nicholas Taleb, dalam kajiannya, menyatakan bahwa bitcoin yang menjadi salah satu bagian dari cryptocurrency gagal menjadi mata uang digital yang sebelumnya dianggap tidak rentan terhadap inflasi dan dinilai sebagai investasi aman. Berkaca dari sisi lain, bahkan seorang warren Buffett sendiri, investor terkemuka asal Negeri Paman Sam, menyatakan bahwa beliau tidak akan menginvestasikan kekayaannya ke dalam crypto. Rule number one, never lose money, begitu prinsipnya.
Bagaimana harga cryptocurrency bisa melejit?
Peristiwa ini tidak terlepas dari prinsip demand (permintaan) dan supply (penawaran). Untuk menaikkan permintaan sendiri, salah satu caranya dapat dilihat melalui seberapa prospektif sebuah project yang dilakukan oleh penerbit crypto atau seberapa banyak pengguna smart contract tersebut. Sayangnya, seringkali disadari bahwa pergerakan dari mata uang kripto sendiri masih didasari oleh spekulasi yang berujung pada anggapan keluar dari misi utama dihadirkannya cryptocurrency.
Dalam rangka meminimalisasi volatilitas, kripto memiliki salah satu jenis mata uang yang ramai diperdagangkan di platform digital yakni stablecoin. Kehadirannya dirancang memiliki nilai yang cenderung stabil (secara teori). Stablecoin dibuat dalam rangka menjembatani dua jenis aset, yakni pertama, mata uang kripto yang menawarkan privasi dan proses transaksi yang berlangsung secara cepat. Serta kedua, harga yang cenderung stabil seperti uang fiat (mata uang resmi).
Terra LUNA, yang sempat mengalami penurunan (anjlok) pada beberapa bulan lalu, merupakan sister coin dari Terra USD (UST) yang juga bagian dari stable coin. Pada dasarnya, guna mempertahankan nilai agar tetap terjaga stabil, para pengembang stable coin juga memiliki cadangan dollar fisik dengan nilai sama dengan jumlah coin yang beredar atau setidaknya telah mendekati nilai tersebut. Meskipun begitu, terjadi sedikit perbedaan antara Terra USD (UST) dibandingkan dengan stable coin lainnya. Terra USD tidak memiliki cadangan aset berupa dollar fisik untuk menjaga stabilitas nilai (1 UST = $1) karena teknisnya bergantung kepada sister coin mereka, Terra LUNA, untuk menstabilkan nilai agar tetap berada di $1. Hal semacam itu dianggap sebagai kesalahan algoritma.
Mint and Burn
Sebuah proses tukar guna menstabilkan nilai ini dilakukan pada blockchain Terra. Proses ini dikenal juga dengan istilah on-chain swap, tidak dilakukan pada bursa kripto biasa, dan terdapat serangkaian proses bernama mint and burn oleh para pelaku pasar itu sendiri. Sederhananya, burning bermakna membakar, berarti proses bagaimana pembakaran koin crypto guna mengurangi jumlah supply beredar. Sebaliknya, minting bermakna mencetak, berarti proses bagaimana pencetakan koin crypto baru guna menambah jumlah supply beredar.
Cryptocurrency dan Payung Hukum
Perry Warjiyo, selaku Gubernur Bank Indonesia, memaparkan bahwa mata uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia hanyalah rupiah. Merujuk pada Undang-Undang No 7 pasal 1 ayat 1 tahun 2011, ini berarti mata uang lain seperti kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran sah. Meskipun begitu, cryptocurrency dapat disimpan atau diperjualbelikan sebagai aset, merujuk pada payung hukum yang dikeluarkan oleh Badan Perdagangan Berjangka Komoditi Indonesia yakni Peraturan No 5 tahun 2019.
Lantas bagaimana perspektif dari ulama Islam?
Sayangnya, popularitas cryptocurrency tidak serta merta mendapat dukungan dan pandangan baik dari berbagai negara. Di Indonesia sendiri, Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menanggapi cryptocurrency dengan memberikan fatwa berupa pengharaman penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang. Hal ini dikarenakan adanya kandungan gharar, dharar, serta bertentangan dengan UU No 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia No 17 tahun 2015. Sementara itu, terkait dengan status cryptocurrency sebagai komoditi atau aset digital dinyatakan sah diperjualbelikan apabila memenuhi syarat sebagai sil’ah secara syar’i, yakni memiliki wujud fisik, memiliki nilai, dapat diketahui jumlahnya secara pasti, serta memiliki hak milik dan dapat diserahkan pembeli. Syarat lainnya yakni cryptocurrency harus memiliki underlying dan manfaat yang jelas. Apabila terbukti mengandung gharar, dharar, qimar, dan tidak memenuhi berbagai syarat diatas maka dinyatakan tidak sah untuk diperjualbelikan. Tidak sampai di sana, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan sejumlah pernyataan berisikan sebelas buah catatan terkait bitcoin (bagian dari cryptocurrency).
Dilansir dari kanal resmi MUI, Prof. Jaih Mubarok, sekretaris BPH DSN-MUI, memaparkan bahwasannya uang (nuqud) merupakan suatu hal yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik logam atau kertas yang dicetak atau dari bahan lain, dan diterbitkan lembaga resmi pemegang otoritas. Dari penjelasan tersebut, apabila masyarakat melakukan transaksi menggunakan unta (atau kulit unta) sebagai alat pembayaran, maka unta tersebut tidak dapat dianggap sebagai uang (nuqud), melainkan hanya sebagai badal (pengganti) atau ‘iwadh (imbalan). Hal ini dikarenakan uang harus memenuhi dua kriteria berikut, pertama yakni substansi benda tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara langsung, melainkan hanya sebagai media untuk memperoleh manfaat, dan kedua yakni diterbitkan lembaga yang memiliki otoritas untuk menerbitkan uang (bank sentral).
Sementara itu, ulama Islam dari belahan negara lain turut mengeluarkan pandangan hukum terkait kasus ini, salah satunya seorang mufti dari Mesir. Mufti Agung Shawki Allam, melalui Al-Ahram, memberikan pendapat hukumnya bahwa perdagangan seperti mata uang virtual tidak diperbolehkan karena hal tersebut tidak dianggap atau diakui oleh lembaga resmi/sah sebagai pertukaran antarmuka yang dapat diterima. Terlebih beliau juga menekankan bahwa risiko mata uang ataupun potensi keuntungannya yang tinggi dinilai secara perlahan telah meluluhkan kemampuan Mesir dalam mempertahankan dan menstabilkan mata uangnya sendiri. Fatwa tersebut tentunya diberikan setelah melalui konsultasi yang cukup panjang dengan beberapa ekonom.
Menyusuri daerah seberang timur Mesir, Pakistan juga telah melakukan pelarangan hal serupa. Pemerintah Pakistan bersama Bank Sentral (SBP) telah mendesak Pengadilan Tinggi Pakistan (SHC) untuk menjatuhkan hukuman terhadap pertukaran kripto. Pasalnya, Pemerintah Pakistan menganggap bahwa cryptocurrency merupakan mata uang tidak resmi (ilegal) sehingga bukanlah bagian dari alat pembayaran yang sah yang telah dijamin pemerintah sehingga tidak dapat digunakan untuk perdagangan.
Sebaliknya, seorang mufti bernama Muhammad Abu Bakar memberikan pandangan yang bertentangan. Berdasarkan kacamatanya, beberapa tahun yang lalu, dipaparkan bahwa saat itu Jerman mengakui bitcoin sebagai mata uang. Terlebih, dalam perdagangan global sendiri, keberadaan bitcoin dianggap bernilai dan diterima sebagai pembayaran di antara banyak pedagang. Atas dasar tersebut, maka bitcoin telah memenuhi syarat halal di negara tersebut. Tambahnya, studi tersebut berdasarkan keadaan saat itu merujuk pada kenyataan bahwa bitcoin telah relatif diterima sebagai medium pertukaran transaksi pribadi.
Meskipun terdapat banyak perbedaan di kalangan para ulama terkait hukum persoalan cryptocurrency, tetapi terdapat beberapa crypto berlabel syariah, seperti Marhaba Coin dan Caiz Coin yang siap melompat ke pasar crypto internasional. Kata ‘caiz’ sendiri berasal dari bahasa arab ‘jaiz’ yang berarti boleh. Kehadiran Caiz juga sempat menuai perhatian karena pendekatannya yang cukup unik. Caiz mencoba mengintegrasikan dengan membawa prinsip keuangan Islam ke dalam decentralized finance. Caiz Coin juga berfokus kepada kesejahteraan pelanggan dan pertimbangan masyarakat dengan membawa nilai-nilai moral dan etika yang ada. Kehadiran Caiz sendiri dianggap sebagai sebuah konsep yang relatif baru yang memiliki maksud menampik malpraktik dalam dunia kripto (konvensional) sekaligus memberikan jalan kemudahan bagi investor dalam mencari platform aman. Tim yang tergabung dalam penggarapan Caiz Coin, dengan menggandeng ekonom, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap platform dalam dunia kripto untuk mewujudkan sebuah platform blockchain yang mengandung unsur Islami, bebas dan adil. Selain Caiz Coin, terdapat pula Marhaba Coin yang diciptakan oleh platform keuangan Australia. ‘Marhaba’ Coin sendiri berasal dari kata dalam bahasa arab yang berarti selamat datang. Dikutip dari kanal resminya, Marhaba hadir membawa penawaran terkait pembiayaan kripto berbasis bebas riba. Baginya, pinjaman berbunga dapat mendorong utang dan konsumsi berlebih yang tentu bertentangan dengan keberlanjutan finansial, lingkungan, dan sosial dan erat hubungannya dengan moral. Bahkan telah diakui secara luas bahwa kegagalan moral menjadi penyebab utama krisis keuangan yang telah menghancurkan begitu banyak mata pencaharian. Oleh karena itu, Marhaba mengedepankan etika serta prinsip keuangan halal yang menjadi seperangkat pedoman, keyakinan, dan aturan yang menentukan perilaku platform Marhaba dan produknya.
Crypto dan Tantangannya
Melalui laman The Conversation, Wisnu yang juga menjadi blockchain researcher, memaparkan bahwasannya lahirnya cryptocurrency sebagai mata uang tunggal diharapkan dapat menjawab tantangan zaman mengenai permasalahan nilai tukar mata uang di masa depan. Harapannya, crypto dapat membantu memperkecil gap nilai antar-nilai mata uang di dunia. Selain itu, teknologi blockchain yang mengilhami lahirnya cryptocurrency dinilai telah mampu meminimalisasi celah keamanan dengan sistem keamanan berlapis. Teknologi ini juga telah meluas penggunaannya oleh berbagai pelaku pasar dari berbagai lini sektor.
Masih dari laman yang sama, diinformasikan bahwa masih dilakukan penelitian dan evaluasi terkait kesesuaian cryptocurrency dengan nilai-nilai Islam, seperti nilai crypto yang sangat fluktuatif berujung terhadap transaksi yang spekulatif, tentu bertolak belakang dengan prinsip Islam. Menanggapi salah satu elemen tersebut, tentu menjadikan penggunaan crypto sebagai mata uang ataupun alat tukar ini sukar berkembang di berbagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, seperti Indonesia.
Sebuah Angin Segar
Perkembangan digitalisasi dan pandemi COVID-19 telah mendorong aset kripto tumbuh semakin cepat dan berpotensi dalam mengembangkan sistem keuangan yang efisien dan inklusif. Sayangnya, di sisi lain dapat berpotensi memengaruhi stabilitas ekonomi, moneter, dan sistem keuangan. Dengan demikian, diperlukan kerangka regulasi yang tepat untuk mengatasi risiko terhadap stabilitas dari aset kripto. Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, pada pungkasan akhir tahun ini, Bank Indonesia berencana mengembangkan dan meluncurkan white paper dari Central Bank Digital Currency (CBDC) atau mata uang digital. Tidak hanya di ibu pertiwi saja, bahkan bank sentral dari berbagai belahan dunia pun juga melakukan berbagai riset ini dengan dikembalikan lagi pada karakteristik masing-masing negara. Dilansir dari kanal resmi IDX Channel, Peluncuran CBDC sendiri tentunya membutuhkan kesiapan dan kematangan yang cukup. Setidaknya, Indonesia memastikan telah memenuhi tiga pre-requisite, yakni desain CBDC yang tidak mengacaukan sistem keuangan dan stabilitas moneter, desain CBDC yang bersifat 3i (integrated, interconnected, and interoperable) terhadap infrastruktur FMI-Sistem pembayaran, serta teknologi yang digunakan dalam tahap eksperimen dan pengimplementasian CBDC sendiri.
Sebuah Epilog
Popularitas cryptocurrency masih terus diiringi dengan pro dan kontra yang masih menghangat di masyarakat. Menilik dari ranah Islam, masih terdapat beberapa ulama yang menyatakan ‘opininya’’ membolehkan, mengharamkan, bahkan ada yang masih menunggu penelitian untuk dikaji lebih lanjut. “Whenever you find yourself on the side of the majority, it is time to reform (or pause and reflect).” Ungkapan tersebut setidaknya berusaha memberikan gambaran tentang kehadiran cryptocurrency yang sempat kembali mencuat beberapa waktu lalu ke permukaan. Dalam menanggapi pro dan kontra sendiri, semua akan dikembalikan lagi kepada masing-masing individu bagaimana cara mereka mengeksekusinya. Bahasan awal bagaimana cryptocurrency ramai digeluti karena keuntungannya tadi setidaknya telah membantu kita dalam merepresentasikan kondisi etika dan moral yang berlaku saat ini. Dari situ, kita juga bisa memperoleh pelajaran berharga: bagaimana senantiasa mengkaji, berhati-hati, dan terus menjunjung tinggi moral serta etika di atas apapun.
Dan pada akhirnya ekonomi Islam begitu luas peranannya, lebih dari sekadar mencari jalan bebas riba, gharar, maisir, dan segala kawannya, tetapi mengajarkan kita bagaimana menjaga marwah dengan terus mengkaji, berhati-hati, serta membangun dan mengedepankan adab dan akhlak mulia. Bagaimana menjalankan kehidupan dengan tidak menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan yang tidak jelas muaranya.
Wallahu’alam bisshawab…..
Referensi
Abu-Bakar, M. M. (2018). Shariah analysis of bitcoin, cryptocurrency, and blockchain. Shariah Analysis in Light of Fatwas and Scholars’ Opinions. Retrieved July 13, 2022, from http://bolama.io/wp-content/uploads/2018/08/Shariah-Analysis-of-Bitcoin-Cryptocurrency-Blockchain-3-1
(n.d.). DSN mui Kaji Uang Kripto, Jelaskan Kriteria Mata Uang Menurut Islam. MUI. Retrieved July 12, 2022, from https://mui.or.id/berita/30313/dsn-mui-kaji-uang-kripto-jelaskan-kriteria-mata-uang-menurut-islam/
Admin. (2021, June 4). Memahami Apa Itu cryptocurrency Beserta Kelebihan Dan Kekurangannya. Allianz Indonesia. Retrieved July 13, 2022, from https://www.allianz.co.id/explore/memahami-apa-itu-cryptocurrency-beserta-kelebihan-dan-kekurangannya.html
Admin. (n.d.). About MRHB. MRHB. Retrieved July 13, 2022, from https://mrhb.network/#about
Edukasi Keuangan Syariah [@sharfinid]. (2021, April 20). Cryptocurrency [Instagram Post]. Retrieved July 10, 2022, from https://www.instagram.com/p/CN4r8xrMDPs/?igshid=YmMyMTA2M2Y=
Keyvan Islamic Finance [@keyvan.id]. (2022, May). LUNA I [Instagram Stories]. Retrieved July 8, 2022, from https://www.instagram.com/s/aGlnaGxpZ2h0OjE3OTQwNzY5NjQ5MDYwNTg5?story_media_id=2840058203150939446&igshid=YmMyMTA2M2Y=
Natalia, Michelle. (2022, July 12). BI Siap Rilis Kertas Putih Pengembangan Rupiah Digital Akhir Tahun Ini. IDX Channel. Retrieved July 13, 2022 from https://www.idxchannel.com/banking/bi-siap-rilis-kertas-putih-pengembangan-rupiah-digital-akhir-tahun-ini/3
Setyowati, Desy. (2022, March 24). Jumlah Investor Kripto di Indonesia 12,4 Juta, Lampaui Saham. Kata Data. Retrieved July 21, 2022 from https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/623c2c791aab3/jumlah-investor-kripto-di-indonesia-12-4-juta-lampaui-saham
Taleb, Nassim Nicholas. Bitcoin, Currencies, and Fragility. Fooledbyrandomness. Retrieved July 13, 2022, from https://www.fooledbyrandomness.com/BTC-QF.pdf
Uriawan, Wisnu. (2021, November 18). Dua alasan MUI harus timbang ulang keputusan haramkan uang kripto seperti bitcoin dan ethereum. The conversation. Retrieved July 21, 2022 from https://theconversation.com/dua-alasan-mui-harus-timbang-ulang-keputusan-haramkan-uang-kripto-seperti-bitcoin-dan-ethereum-171943
Webstume. (n.d.). Islamic compliant cryptocurrency. Caizcoin. Retrieved July 13, 2022, from https://caizcoin.com/