Islamic Public Welfare: Correlation Between Maslahah Mursalah, Sustainable Development Goals, and Fragile States Index

IBEC FEB UI
12 min readOct 2, 2021

--

Oleh: Emir Reza Pahlawan (Ilmu Ekonomi Islam 2020)

Pendahuluan

Islam sebagai prinsip utama sekaligus pedoman bagi umat Nabi Muhammad ﷺ adalah nikmat karunia-Nya yang terbesar bagi para muslim, yang salah satunya mengatur tentang bagaimana cara kita mengolah bumi manusia ini. Sejatinya, apapun yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada kita umat manusia hanyalah berfungsi sebagai media atau fasilitator dalam meraih keridaan-Nya mencapai kondisi maslahah. Baik itu berupa harta benda, jiwa, maupun sekedar keadaan lingkungan yang aman dan tentram dapat kita perhitungkan sebagai kesejahteraan sosial. Secara arti bahasa, maslahah berasal dari bahasa Arab yang berarti mendatangkan kebaikan atau kemanfaatan (manfa’ah) dan menolak kerusakan atau kemudaratan (mafsadah) (Kholil, 1995). Untuk mencapai kemaslahatan di masyarakat maka para ulama kita menemukan konsep pemikirian yang dinamakan dengan maslahah mursalah. Maslahah mursalah merupakan hukum syariah yang bersumber kepada ijtihad tanpa bersandar secara langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Namun, apapun sumbernya hukumnya jika bertujuan untuk mencapai kondisi maslahah maka itu diperbolehkan jika menggunakan akal pikiran dan proses musyawarah yang dimana sebagian dari maslahah itu sendiri berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan zaman yang juga termaktub pada salah kaidah ushul fiqh (Bakar, 1977).

Pada dunia modern ini terdapat banyak institusi yang menciptakan indikator terstandarisasi tentang bagaimana kita mendeskripsikan dan menggolongkan suatu kondisi masyarakat di setiap negara dalam mencapai kondisi kemaslahatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan Sustainable Development Goals (SDG’s) pada tanggal 25 September 2015 sebagai dasar untuk seluruh negara di dunia dalam membangun kesejahteraan di negara masing-masing dengan cara yang disepakati bersama. Selain PBB, Institusi bernama Fund For Peace juga mendeklarasikan suatu indikator bernama Fragile States Index yang berisi tentang ukuran-ukuran tertentu apakah suatu negara tergolong rentan atau maju. Berdasarkan bahasa dan istilah tentu terdapat sedikit sekali relevansi antara maslahah mursalah, Sustainable Development Goals, dan Fragile States Index ini. Akan tetapi, jika dilihat secara pengertian, konsep, dan tujuannya terdapat persamaan yang signifikan antara maslahah mursalah, Sustainable Development Goals, dan Fragile States Index terutama dalam hal fungsinya untuk memajukan kesejahteraan peradaban umat manusia.

Isi

Sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa saja lingkup dari pembahasan maslahah ini. Untuk mencapai maslahah yang hakiki maka sudah sejatinya kita harus memenuhi beragam kebutuhan kita. Menurut ulama Asy-Syatibi terdapat tiga tingkat kebutuhan untuk mencapai kondisi maslahah yang baik, diantaranya adalah kebutuhan primer (dharuriyat), kebutuhan sekunder (hajjiyat), dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat).

  • Kebutuhan Dharuriyat

Kebutuhan primer ini bersifat wajib dipenuhi demi keberlangsungan hidup manusia baik itu yang bersifat diniyyah maupun dunyawiyyah. Jika kebutuhan dhahruriyat ini tidak terpenuhi maka dapat mengancam eksistensi dari kehidupan manusia itu sendiri baik yang bersifat keagamaan, kejiwaan, akal pikiran, harta benda dan keturunan (Syarifuddin, 2008).

  • Kebutuhan Hajjiyat

Kebutuhan sekunder ini bersifat pelengkap dari kebutuhan dharuriyat sudah kita penuhi dan pemenuhan dari kebutuhan hajjiyat ini dapat menghindarkan kita dari kesulitan-kesulitan yang ada. Ruang lingkup dari kebutuhan hajjiyat ini lebih kepada kebutuhan kolektif di masayarakat, diantaranya yaitu seperti pada budaya atau adat kebiasaan, muamalah atau hubungan antar sesama manusia dan kelompok, dan permasalahan sanksi-sanksi pidana (Hadi, 2014). Kebutuhan-kebutuhan ini tidak bersifat mendesak, tetapi jika dipenuhi maka akan menciptakan kehidupan masyarakat yang aman dan tentram.

  • Kebutuhan Tahsiniyyat

Kebutuhan tersier ini mencakup ruang lingkup dari kebutuhan hajjiyat, tetapi lebih ditekankan kepada unsur-unsur keindahannya (estetika), kesempurnaan, dan kehormatan atau martabat (muni’ah). Jika pemenuhan kebutuhan ini tidak terpenuhi maka tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap eksistensi kehidupan manusia ataupun dapat menyulitkan (haraj’) baik terhadap individu maupun masyarakat. Namun terdapat perbedaan beberapa pendapat di kalangan ulama terkait dengan pemenuhan kebutuhan tahsiniyyat ini. Sebagian mengatakan bahwa jika kebutuhan tersier ini diabaikan maka akan menciptakan kehidupan manusia yang kaku atau bahkan dapat menghilangkan tujuan utama dari adanya maslahah itu sendiri karena sejatinya keindahan dan kenyamanan juga termasuk sebagai indikator maslahah.

Untuk mencapai kemaslahatan yang hakiki maka ketiga tahapan maslahah tersebut yaitu dharuriyat, hajjiyat, dan tahsiniyyat tersebut haruslah terpenuhi. Dengan demikian diperlukan suatu hukum yang menyangkut tentang bagaimana manusia baik sebagai individu maupun masyarakat mampu mencapai kondisi kemaslahatan ini. Maslahah mursalah dilihat sebagai salah satu sumber hukum Islam yang unsur kebenarannya masih terdapat khilafiyah di kalangan para ulama (Hadi, 2014). Mereka, para ulama, juga menerapkan prinsip kehati-hatian (ikhtiyath) dan syarat yang ketat dalam menggunakan konsep maslahah mursalah sebagai hujjah. Salah satu alasannya adalah walaupun tujuan utama dari maslahah mursalah adalah kemaslahatan umat manusia, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa adanya kemungkinan oknum atau pihak yang memanfaatkan kedok dari tujuan utama dari maslahah mursalah. Oleh karena itu, agar kejadian tersebut bisa terhindarkan maka para ulama menyepakati bahwa maslahah mursalah memiliki beberapa kriteria tertentu agar bisa dijadikan sebagi sebuah dasar legislasi hukum Islam dalam mencapai kemaslahatan bersama.

Menurut Al-Ghazali maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum Islam apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

  1. Pengaplikasian dari maslahah mursalah harus sesuai dengan ketentuan syara’.
  2. Isi dari maslahah murslah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan nash syara’ (Al-Quran dan Hadist)
  3. Maslahah mursalah dijadikan sebagai tindakan yang dzaruri atau suatu kebutuhan yang mendesak sebagai kepentingan umum di masyarakat (Jamil, 2008).

Untuk memperluas perspektif maslahah mursalah, menurut Abdul Wahab Khallaf maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum Islam apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Berbentuk maslahah yang sebenarnya (hakiki) yang didapatkan melalui proses penelitian, prinsip kehati-hatian, dan pembahasan yang mendalam, serta bersifat menarik manfaat dan menolak kerusakan.
  2. Berupa maslahah yang bersifat umum dan berkepentingan kolektif
  3. Tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Quran, Hadist, dan ijma’ para ulama (Khallaf, 2002).

Dari syarat dan ketentuan yang telah disampaikan oleh kedua ulama tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa agar maslahah mursalah dapat dijadikan landasan hukum Islam dalam mencapai kesejahteraan sosial maka pertama, target dari maslahah tersebut haruslah jelas, nyata, dan telah melalui berbagai kajian dan musyawarah bersama. Kedua, pencapaian dari maslahah ini akan mendatangkan suatu kemanfaatan sekaligus menolak kemudaratan, dengan syarat kemanfaatan tersebut sesuai dengan kebutuhan kolektif masyarakat serta sesuai dengan tujuan dan prinsip Al-Quran dan Hadis. Empat imam mazhab mengakui eksistensi dari maslahah ini, hanya saja jumhur ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah mengharuskan memasukkan maslahah ke dalam konteks qiyas (perbandingan) pada kejadian masa lampau, hal ini bertujuan untuk memelihara hukum dan berhati-hati dalam pembentukan hukum. Sedangkan, golongan Malikiyah dan Hanabiyah berpendapat bahwa maslahah ini dapat dijadikan dalil yang berdiri sendiri tanpa memasukkan unsur apapun asalkan tujuan utama dan akhirnya adalah kemaslahatan itu sendiri yang dinamakan dengan maslahah mursalah (Syukur, 1993)

Setelah maslahah mursalah ini sudah sesuai dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama maka langkah selanjutnya adalah menentukan area lapangan kajiannya serta batasan-batasannya. Segala bentuk pencapaian dari maslahah umumnya hanya berkisar antara muamalah, budaya, atau adat. Hal tersebut dikarenakan unsur dari maslahah harus didasarkan para pertimbangan akal pikiran. Sebagai contoh, ranah ibadah tidak dimasukkan ke dalam konteks maslahah karena segala bentuk perbuatan ibadah bersifat ta’abuddi dan tawqifi atau ubudiah-doktrinal (Ridwan, 2016). Mayoritas ulama berpendapat bahwa konsep dari maslahah mursalah ini hanya dapat dijadikan istimbath hukum pada ranah muamalah saja yang dinilai lebih efektif dalam meyikapi dan menjawab permasalahan-permasalahan muamalah yang bersifat kontekstual dan kekinian karena umumnya permasalahan muamalah masa kini tidak memiliki ketentuan hukum secara jelas dalam nash. Oleh karena itu, maslahah mursalah dapat dikatakan sebagai instrumen dalam merealisasikan dan memelihara kemaslahatan umat manusia secara maksimal yang merupakan cerminan manifestasi dari konsep maqashid syariah.

Berdasarkan istilah dan pengertian yang sudah kita ketahui mengenai maslahah dan maslahah mursalah diatas, maka kita dapat melihat keadaan empiris di dunia bahwa terdapat institusi-institusi yang sudah menerapkan konsep dari maslahah mursalah ini walaupun mereka tidak menyadarinya. Institusi-institusi ini mengeluarkan suatu indikator pencapaian dan indikator terendah yang terstandarisasi agar semua negara di dunia dapat mengikuti ukuran kesejahteraan yang sama. Indikator pencapaian yang dimaksud adalah Sustainable Development Goals yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mencapai kemajuan peradaban manusia yang berkelanjutan. Sedangkan indikator terendah yang dimaksud adalah Fragile States Index yang dikeluarkan oleh Fund For Peace (FFP) dalam mengukur keadaan-keadaan negara di dunia apakah termasuk golongan negara yang rentan, stabil, atau maju.

Jika dilihat dari perspektif maslahah mursalah kedua indikator tersebut sangat sesuai dengan tujuan maksud dari pencapaian kemaslahatan umat manusia. Maslahah diartikan sebagai suatu pencapaian keadaan masyarakat yang mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan. Dua unsur dalam pengertian dari maslahah ini sangat berkaitan erat dengan indikator yang dikeluarkan oleh PBB dan FFP. Indikator Sustainable Development Goals mengandung unsur maslahah yang bersifat mendatangkan kemanfaatan sedangkan indikator Fragile States Index mengandung unsur maslahah yang bersifat menolak kemudaratan. Dari kedua sisi ini maka cara pandang kita terhadap maslahah dapat dilihat secara utuh (kaffah) yang akan membuat kita memikirkan konsep maslahah mursalah yang lebih baik lagi.

Sustainable Development Goals sebagai Pembawa Kemanfaatan pada Maslahah Mursalah

SDG’s adalah suatu program dunia jangka panjang untuk mengoptimalkan semua potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh tiap negara. Sebelumnya PBB mencanangkan program dunia yang bernama MDG’s atau Millennium Development Goals yang merupakan indikator kerentanan sesuai dengan kategori jenis kelamin, umur, kesehatan, dan hal-hal lainnya sesuai dengan kondisi demografi masyarakatnya. Setelah indikator atau tujuan dari MDG’s dirasa sudah tercapai oleh para pemangku kepentingan maka pada tahun 2015, PBB kembali mencanangkan indikator terstandarisasi yang dinamakan dengan Sustainable Development Goals atau disingkat dengan SDG’s. Walaupun MDG’s dan SDG’s merupakan dua indikator yang berbeda, tetapi keduanya tetap memiliki tujuan utama yang sama jika dilihat pada perspektif maslahah mursalah yaitu mendatangkan kemaslahatan pada umat manusia.

SDG’s memiliki indikator tujuan yang lebih bervariatif dan kompleks. Tujuan atau goals dalam SDG’s ini berjumlah tujuh belas goals berbeda dengan MDG’s yang hanya memiliki delapan goals. Tujuan-tujuan yang dicantumkan dalam SGD’s diantaranya yaitu:

  1. Tanpa Kemiskinan (No Poverty), berarti mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya dimana-mana.
  2. Tanpa Kelaparan (Zero Hunger), berarti mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang lebih baik, serta mempromosikan pertanian berkelanjutan.
  3. Kehidupan Sehat dan Sejahtera (Good Health and Well-Being), berarti memastikan kehidupan yang sehat dan mempromosikan kesejahteraan untuk semua orang di segala usia.
  4. Pendidikan Berkualitas (Quality Education), berarti memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua.
  5. Kesetaraan Gender (Gender Equality), berarti mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.
  6. Air Bersih dan Sanitasi Layak (Clean Water and Sanitation), berarti memastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua.
  7. Energi Bersih dan Terjangkau (Affordable and Clean Energy), berarti memastikan akses ke negeri yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan sebagai modern untuk kita semua.
  8. Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi (Decent Worth and Economic Growth), berarti mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, lapangan kerja penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua.
  9. Industri, Inovasi, dan Infrastruktur (Industry, Innovation, and Infrastructure), berarti membangun infrastruktur yang tangguh, mendorong industrialisasi yang inklusif, dan berkelanjutan, serta mendorong inovasi.
  10. Berkurangnya Kesenjangan (Reduced Inequalities), berarti mengurangi ketimpangan di dalam dan antar negara.
  11. Kota dan Pemukiman yang Berkelanjutan (Sustainable Cities and Communities), berarti menjadikan kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
  12. Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab (Responsible Consumption and Production), berarti memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.
  13. Penangan Perubahan Iklim (Climate Action), berarti mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.
  14. Ekosistem Lautan (Life Below Water), berarti melestarikan dan menggunakan secara berkelanjutan samudra, laut, dan sumber daya kelautan untuk pembangunan berkenlajutan.
  15. Ekosistem Daratan (Life On Land), berarti melindungi, memulihkan, dan mempromosikan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi penggurunan, menghentikan dan membalikkan degradasi lahan, dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati.
  16. Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh (Peace, Justice and Strong Institutions), berarti mempromosikan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua dan membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.
  17. Kemitraan untuk Mencapai Tujuan (Partnerships for The Goals), berarti memperkuat saran implementasi dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan.

Dari ketujuh belas goals atau tujuan diatas kita dapat mengklasifikasikannya berdasarkan tiga capaian utama yaitu economic development, environmental sustainability, dan social inclusion. Berikut adalah gambar yang mengklasifikaskan tujuan-tujuan tersebut.

Figur 1. Klasifikasi SDG’s Berdasarkan Tiga Sektor Utama Sumber: Perserikatan Bangsa-Bangsa

PBB kemudian mengklasifikasikan kembali ketujuh belas tujuan utama tersebut ke dalam tingkatan urgensi yang harus dicapai terdiri atas Challenges Remain, Significant Challenges, dan Major Challenges yang dapat dilihat pada gambar berikut:

Figur 2. Klasifikasi SDG’s Berdasarkan Urgensi Sumber: Perserikatan Bangsa-Bangsa

Selanjutnya kita bisa mengelola tingkatan klasfikasi SDG’s ini berdasarkan perspektif dari tingkatan kebutuhan yang dikemukakan oleh Ulama Asy-Syatibi untuk mencapai kemaslahatan. Ketiga tingkatan tersebut adalah kebutuhan primer (dharuriyat), kebutuhan sekunder (hajjiyat), dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat). Berikut ini tabel dalam mengklasifikasikan SDG’s tersebut:

Figur 3. Klasifikasi SDG’s Berdasarkan Tingkatan Kebutuhan Maslahah

Sumber: Penulis

Penggolongan tersebut menggunakan tiga asumsi utama yaitu pengertian tingkat kebutuhan untuk mencapai maslahah yang dikemukakan oleh Asy-Syatibi, tingkat urgensi yang dinyatakan oleh PBB, dan kondisi empiris saat ini yang didapatkan oleh penulis. Sebagai contoh tujuan Climate Action berada pada golongan tersier (tahsiniyyat) pada saat ini, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dalam beberapa tahun kedepan tujuan dari Climate Action naik ke taraf kebutuhan sekunder (hajjiyat), atau bahkan kebutuhan primer (dharuriyat) karena pemanasan global yang diakibatkan oleh umat manusia semenjak zaman revolusi industri sudah mulai berada di tingkat yang mengkhawatirkan dan bisa mengancam eksistensi umat manusia di kehidupan ini.

Fragile States Index sebagai Penolak Kemudaratan pada Maslahah Mursalah

FSI atau Fragile States Index adalah indikator kerentanan yang dikeluarkan oleh institusi Fund For Peace. Walaupun indikator ini masih terbilang cukup “muda” jika dibandingkan dengan SDG’s, tetapi juga bisa memberikan perhitungan dan klasifikasi berdasarkan salah satu perspektif kemaslahatan yaitu menolak kemudaratan. Berbeda dengan SDG’s yang lebih berfokus pada pencapaian, FSI lebih berfokus pada batasan- batasan terendah yang jika suatu negara melewati batas tersebut maka bisa dikatakan negara itu berada di kondisi yang tidak stabil dan bisa membawa keburukan (kemudaratan) kepada masyarakatnya.

Terdapat lima area utama yang diklasifikasikan oleh FSI yaitu Cohesian, Economic, Political, Social, dan Cross-Cutting. Kelima area tersebut dipecah lagi menjadi dua belas tujuan utama yang dijelaskan secara lebih detail pada tabel dibawah ini:

Figur 4. Klasifikasi FSI Sebagai Unsur Penolak Kemudaratan Pada Maslahah

Sumber: Penulis

Kedua belas batasan utama dari FSI tersebut bisa kita simpulkan sebagai pemenuhan salah satu unsur dalam mencapai kemaslahatan yaitu menolak kemudaratan, karena jika suatu negara melewati batasan yang telah ditetapkan oleh indikator-indikator FSI diatas maka bisa disimpulkan bahwa negara tersebut rentan atau rawan menghadapi kondisi instabilitas yang akan akan berujung pada terciptanya keburukan atau kemudaratan.

Penutup

Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk dijadikan prinsip dan pedoman jalan hidup umat manusia melalui Al-Quran dan Hadis dalam menjalani kehidupan di bumi ini. Agar dapat menjalani kehidupan ini dengan bahagia, maka negara sebagai perwakilan Yang Maha Esa di bumi ini dalam mengelola sumber daya yang tersedia harus mencapai tahap kemaslahatan yang hakiki agar masyarakat di dunia dapat hidup sentosa dan bahagia. Para pendahulu dan ulama kita mengemukakan konsep yang dinamakan dengan maslahah mursalah, yaitu semacam suatu landasan hukum Islam yang telah dicermati dan dikaji sedemikian rupa yang bertujuan untuk mancapai kemaslahatan. Selanjutnya, institusi-institusi di dunia seperti PBB dan FFP telah mengeluarkan indikator yang dinamakan SDG’s dan FSI yang dapat dijadikan acuan umum bagi negara dalam mencapai kesejahteraan atau kemaslahatan. Berikut adalah tabel yang menyimpulkan konsep maslahah mursalah, SDG’s dan FSI.

Sumber: Penulis

Oleh karena itu, sudah sejatinya umat muslim terutama organisasi berlatar belakang Islam juga membuat indikator terstandarisasi semacam ini. Walaupun pembuatan SDG’s dan FSI tidak mengacu pada konsep maslahah mursalah tetapi secara prinsip dan tujuan utama SDG’s dan FSI sangat sesuai dengan konsep maslahah mursalah. Selanjutnya, research gap dari penelitian adalah hubungan antar indikator secara kuantitatif yang bisa dielaborasikan lebih lanjut secara sistematis, dikarenakan terdapat laporan penilaian terhadap kondisi negara pada setiap tahunnya. Dengan demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut terkait maslahah mursalah agar di masa depan nanti para umat muslim dapat membuat indikator terstandarisasi tersendiri berkaca dari Sustainable Development Goals dan Fragile States Index demi terciptanya kemaslahatan umat manusia yang hakiki dengan indikator ideal yang menggunakan konsep maslahah mursalah.

Wallahua’lam bisshowaab

Referensi:

Bakar, Syeikh Abu. (1977). Al-Faraidul Bahiyyah. terj. Mohammad Adib Bisri. Al- Faraidul Bahiyyah. Kudus: Menara Kudus.

Fund For Peace. (2017). Fragile States Index Methodology and Cast Framework. Diakses pada 31 Juli 2021 dari https://fragilestatesindex.org/2017/05/13/fragile-states-index and-cast-framework methodology/#:~:text=The%20Fragile%20States%20Index%20(FSI,Tool%20(CAST

)%20analytical%20approach.

Hadi, Abdul. (2014). Ushul Fiqh Konsep Baru Tentang Kaidah Hikmah dalam Teori Fiqh. Semarang: IAIN Walisongo.

Jamil, Muhksin. (2008). Kemaslahatan dan Pembaruan Hukum Islam. Semarang: Walisongo Press.

Khallaf, Abdullah Wahab. (2002). Ilmu Ushulul Fiqh. terj. Noer Iskandar al-Bansany. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Kholil, Munawar. (1995). Kembali Kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Semarang: Bulan Bintang.

Perserikatan Bangsa-Bangsa. (2015). Sustainable Development Goals. https://sdgs.un.org/goals diakses pada 7 Agustus 2021.

Ridwan. (2016). Argumen Keadilan Gender Dalam Hukum Waris Islam Perspektif Pemikiran Muslim Kontemporer. Laporan Penelitian Individual Unggulan. Kementerian Agama RI Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Purwokerto.

Syarifuddin, Amir. (2008). Ushul Fiqh. Jilid II. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Syukur, Sarmin. (1993). Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.

--

--

IBEC FEB UI
IBEC FEB UI

Written by IBEC FEB UI

Islamic Business and Economics Community Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

No responses yet