Islamic Microfinance: Efektifkah dalam Penyelesaian Masalah Daerah 3T?
Oleh: Haya Huwaidah (Bisnis Islam 2020), Staf Departemen Kajian IBEC FEB UI 2021
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya manusia, hal ini dibuktikan dengan keberadaan Indonesia yang menduduki posisi ke-4 populasi terbanyak dunia dengan jumlah penduduk mencapai 274,86 juta jiwa (Worldometers, 2020). Dengan banyaknya populasi seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meningkatkan produktivitas dan laju perekonomian negara. Akan tetapi apabila hal tersebut tidak diiringi dengan pembangunan yang merata di setiap daerah akan terjadi penumpukan penduduk di suatu tempat (overpopulasi). Permasalahan overpopulasi membuat daerah lainnya jauh dari fokus pembangunan contohnya daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) yang memiliki kondisi wilayah yang berbatasan langsung dengan negara lain dan memiliki karakteristik kurang lengkapnya sarana dan prasarana umum hingga kesehatan, serta ketertinggalan lainnya.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 tentang penetapan daerah tertinggal tahun 2020–2024, ada enam kriteria terkait penetapan daerah tertinggal yang diatur berdasarkan indikator dan subindikator sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri, yaitu perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Daerah yang tergolong 3T di Indonesia pada tahun 2020–2024 berdasarkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Republik Indonesia (Kemendesa), diantaranya adalah, Kepulauan Mentawai, Lombok Utara, Kupang, Nduga, dan Sorong.
Masyarakat daerah 3T memiliki akses yang terbatas pada sarana dan prasarana penyedia kebutuhan dasar, yang membuat mereka mengalami keterbatasan akses kepada sistem di segala sektor, termasuk ke dalam sistem ekonomi dan keuangan. Ketika masyarakat di perkotaan dapat dengan mudah mengakses berbagai macam produk keuangan, masyarakat di daerah 3T mungkin masih mengalami kesulitan untuk mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan formal. Untuk melakukan pinjaman di lembaga keuangan formal, biasanya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh masyarakat sebagai langkah preventif terjadinya gagal bayar dan risiko lainnya. Persyaratan tersebut bisa dalam berbagai bentuk, seperti minimal saldo, rata-rata pendapatan, atau bentuk jaminan lainnya. Sedangkan masyarakat 3T mayoritas merupakan pekerja informal yang tidak menentu pendapatannya bahkan tidak mempunyai banyak harta untuk dijadikan jaminan.
Untuk itu, hadirlah lembaga keuangan mikro atau microfinance sebagai solusi untuk membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat serta meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat. Saat ini muncul berbagai bentuk lembaga keuangan mikro di Indonesia, salah satunya adalah Islamic microfinance atau Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS). Perbedaan mendasar antara Islamic microfinance dan conventional microfinance terletak pada sisi akad dan transaksi yang digunakan. Sebagaimana namanya, Islamic microfinance menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah, termasuk pada program yang dijalankan. Islamic microfinance memiliki potensi untuk dikembangkan melalui bentuk-bentuk kegiatan pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan menggunakan sistem profit sharing, karena itu penting untuk membuat Islamic microfinance agar terus berkembang.
Islamic microfinance merupakan kelompok swadaya masyarakat sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dengan konsep utamanya adalah sistem bagi hasil untuk meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha kecil dalam upaya pengentasan kemiskinan (Abidin, 2005). Produk-produk dari Islamic microfinance ini beragam dan memang diadakan untuk masyarakat, misalnya pembiayaan yang diberikan kepada sektor pertanian, industri, perdagangan barang dan jasa, koperasi, pedagang kecil dan lainnya. Pembiayaan yang diberikan memiliki tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan produktivitas para nasabah atau pesertanya. Diantaranya adalah pembiayaan mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, ijarah muntahiah bit tamlik, piutang salam, dan piutang istishna. Serta adanya beberapa jenis pengelolaan simpanan yakni tabungan wadiah, tabungan mudharabah, dan tabungan mudharabah berjangka.
Berdasarkan permasalahan yang ada, produk-produk dari LKMS diyakini bisa menyelesaikan permasalahan yang ada pada masyarakat 3T. LKMS juga dipercaya dapat menjangkau masyarakat 3T dan memudahkan mereka dalam bertransaksi. Selain itu, syarat pinjaman yang diberikan tidak membebani masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki pendapatan rendah. Sehingga, mereka dapat meminjam tanpa harus memberikan jaminan. LKMS juga dipercaya sebagai jalan keluar yang tepat untuk permasalahan masyarakat 3T dikarenakan prinsip yang lebih mengarah ke bidang sosial dan pemberdayaan. Yang mana bertujuan untuk meratakan perekonomian Indonesia, terlebih lagi dalam hal membela kepentingan masyarakat 3T. Dengan demikian, tujuan utama dari lembaga ini bukan hanya sekedar mengejar profit atau keuntungan.
Pada mulanya Islamic microfinance hadir di Indonesia dengan dibuatnya Undang-Undang №7 Tahun 1992. Dapat dikatakan undang-undang ini sebagai payung hukum bagi lahirnya Islamic microfinance. Undang-undang ini menyebutkan kemungkinan berdirinya sebuah bank dengan sistem bagi hasil dan menjadi dasar lahirnya Bank Muamalat Indonesia. Kemudian undang-undang tersebut disempurnakan dengan Undang-Undang №10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang memungkinkan beroperasinya dual banking system dalam sistem perbankan nasional. Akibatnya, sejumlah bank konvensional di Indonesia membuka divisi syariah dalam sistem pelayanan mereka kepada para nasabah.
Sedangkan sejarah perkembangan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di Indonesia dimulai pada tahun 1984 yang dikembangkan oleh mahasiswa Institut Teknologi Bandung di Masjid Salman dengan mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syariah bagi usaha kecil. Kemudian, BMT lebih diberdayakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syariah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka membela kepentingan kaum fakir miskin.
Selanjutnya, pada tahun 2005 berdiri 3 bank umum syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI), dan 19 Unit Usaha Syariah (UUS) seperti Bukopin, BNI, BRI, dll serta telah beroperasi 92 BPR Syariah. Kemudian, pada tahun 2013 lahirlah Undang-Undang №1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Hingga kini total aset syariah dari Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) dan Koperasi/Unit Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS/USPPS) menunjukkan pangsa pasar relatif besar yang mengindikasikan tingginya kontribusi pembiayaan mikro syariah terhadap perkembangan keuangan mikro nasional (Tabel 2.1)
Tabel 2.1 Statistik Sektor Keuangan Mikro Syariah Indonesia
LKMS memiliki beberapa kelebihan dibandingkan lembaga keuangan lainnya yang ditinjau dari beberapa aspek. Yang pertama ditinjau dari aspek legal, dimana proses pendirian LKMS lebih mudah dibandingkan lembaga keuangan lainnya sebab saat ini regulasi yang mengatur pendirian LKMS masih belum selengkap pendirian lembaga keuangan formal lainnya, apalagi lembaga ini tergolong lembaga mikro. Yang kedua dilihat dari aspek permodalan, yakni permodalan tidak ada batasannya, tetapi walaupun ada, jumlahnya relatif kecil dan masih bisa dijangkau masyarakat daerah 3T. Selanjutnya, mengingat struktur LKMS yang tidak sebesar lembaga keuangan formal lainnya, maka manajemen, birokrasi, serta teknis operasional LKMS lebih sederhana dan tidak complicated. Lalu, LKMS juga memiliki potensi pasar yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan lembaga keuangan formal lainnya dikarenakan LKMS dapat menjangkau masyarakat yang tertinggal dan tidak terjangkau oleh lembaga keuangan formal.
Dalam praktiknya, LKMS menemui berbagai tantangan, mulai dari sulitnya mendaftarkan status hukum, terbatasnya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam mengawasi kepatuhan syariah, kurangnya diversifikasi produk karena sebagian besar pembiayaan didasarkan pada murabahah, hingga kurangnya pengetahuan masyarakat (Obaidullah dan Khan, 2008c. 33–34). Padahal LKMS memiliki potensi besar untuk berkembang di Indonesia. Penerapan prinsip syariah di dalamnya membuat masyarakat muslim dapat bertransaksi dengan tenang dan tetap sesuai syariah, hal ini juga menjadi daya tarik bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Jumlah daerah 3T yang tidak sedikit, memunculkan sebuah potensi besar bagi LKMS untuk berkembang. Ditambah lagi kenyataan bahwa lembaga keuangan formal masih belum optimal dalam menjangkau daerah tersebut. Sifatnya yang terbuka dan adanya keterlibatan langsung dalam program pengembangan kapasitas serta aktivitas usaha penerima manfaat (komitmen dan pendampingan teknis) juga menarik masyarakat awam yang kurang literasi ekonomi.
Walau begitu, LKMS masih harus menempuh perjalanan panjang untuk dapat memberikan dampak yang optimal pada masyarakat khususnya masyarakat 3T. Hal ini tidak lepas dari peran pemerintah dan masyarakat itu sendiri untuk bersama-sama memaksimalkan upaya dalam mengoptimalkan potensi LKMS. Pemerintah sebagai regulator dapat membuat regulasi yang lebih lengkap dan sesuai kondisi di lapangan sehingga LKMS dapat berjalan dengan lebih teratur dan mendapat pengawasan yang tepat. Disisi lain, masyarakat juga dapat berpartisipasi dengan menyebarkan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat lain melalui berbagai media yang mudah dijangkau.
Wallahua’lam bisshowaab
Referensi:
Annur, C. M. (2020, December 15). Indonesia peringkat Ke-4 Negara berpenduduk terbanyak Dunia. (Ridhoi, M. A, Eds.) Databoks. Retrieved November 6, 2021, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/12/15/indonesia-peringkat-ke-4-negara-berpenduduk-terbanyak-dunia
Darmawan, A. Z., Kamil, A. I., Pradana, A. N., Mashita, A., Anugrah, B., Masyita, D., et al. (2021). Laporan Ekonomi & Keuangan Syariah 2020. Jakarta: Bank Indonesia.
Divisi Keuangan Mikro Syariah, Direktorat Keuangan Inklusi Dana Sosial Keagamaan dan Keuangan Mikro Syariah, & Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS). (2019). Strategi Pengembangan Keuangan Mikro Syariah Di Indonesia. (B. Aryo, A. Aditya, & Y. Izharivan, Eds.) (1st ed.). Jakarta: Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS).
Firman, & Wening. (2020, May 11). Ini Daerah Tertinggal Menurut Perpres. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia. Retrieved November 6, 2021, from https://www.kemendesa.go.id/berita/view/detil/3261/ini-daerah-tertinggal-menurut-perpres
Hikmawan, D. A. P. (2013). Penerapan Sistem Perhitungan Tingkat Margin dalam Pembiayaan Murabahah: Studi pada UJKS El-Dinar UIN Maliki Malang. Undergraduate thesis. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim
Obaidullah, M. and T. Khan. (2008c). Islamic Microfinance Development: Challenges and Initiatives. Jeddah: IRTI, Islamic Development Bank.
Republik Indonesia. 2020. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020–2024.
Riwajanti, N. I. (2015). Islamic Microfinance: Challenges and Development. Jurnal Riset dan Aplikasi: Akuntansi dan Manajemen, 1(1), 42–53. https://doi.org/10.18382/jraam
Situmorang, D. M., & Ayustia, R. (2019). Model Pembangunan Daerah 3T: Studi Kasus Daerah perbatasan Kabupaten Bengkayang. MBIA, 18(1), 49–64. https://doi.org/10.33557/mbia.v18i1.321
Subagyo, A. (2009, April 15). Keunggulan Lembaga Keuangan Mikro Syariah? [web log]. Retrieved November 6, 2021, from http://islamicmicrofinance.blogspot.com/2009/04/keunggulan-lembaga-keuangan-mikro.html