IBook: Hiperinflasi: Antara Negara Maju dan Negara Berkembang
Oleh: Hanifa Ramadhani (Bisnis Islam 2019) dan Khairina Adilah (Ilmu Ekonomi Islam 2020)
Dampak buruk inflasi sangat terasa bagi mereka yang memiliki pekerjaan tetap, seperti PNS (Pegawai negeri Sipil), polisi, TNI, karyawan, dan lain sebagianya karena kenaikan harga barang pokok berlawanan dengan gaji atau upah mereka yang konstan. Mau tidak mau mereka harus memutar otak untuk tetap bisa membeli kebutuhan hidupnya di saat situasi inflasi. Kebanyakan dari mereka memilih untuk mengurangi pengeluaran dan lebih irit terhadap pemakaian suatu barang konsumsi yang mereka beli. Masyarakat pun kesulitan menyisihkan pendapatannya untuk ditabung karena gaji yang mereka dapatkan telah habis digunakan untuk membeli kebutuhan pokok.
Apabila hal ini tidak cepat dibenahi oleh pemerintah selaku penentu kebijakan perekonomian nasional, maka cepat atau lambat tingkat kesejahteraan masyarakat akan menurun karena daya beli mereka rendah terhadap harga yang sedang melonjak tinggi. Lebih besar lagi, negara akan mengalami apa yang dinamakan “krisis ekonomi” yaitu keadaan dimana perekonomian suatu negara mengalami penurunan cukup drastis. Dengan begitu, roda perekonomian negara juga menjadi terhambat ketika adanya inflasi karena masyarakat mengurangi pembeliannya dan hanya sektor pangan yang masih banyak transaksinya.
Dalam teori demand pull inflation, inflasi disebabkan oleh naiknya permintaan agregat tidak sejalan dengan kondisi perekonomian yang sedang full employment sehingga terjadilah excess demand dan menyebabkan efek domino pada harga barang yang juga ikutan naik. Penyebab naiknya permintaan oleh golongan monetaris disebabkan naiknya jumlah uang beredar sedangkan golongan strukturalis tidak menyangkal hal ini tetapi ditambahkan karena naiknya pengeluaran pemerintah misalnya investasi dan pendapatan. Sedangkan inflasi dari sisi penawaran agregat disebabkan naiknya biaya produksi, untuk mengatasi hal ini pengusaha menaikkan harga jualnya yang dibebankan pada masyarakat sehingga harga barang dan jasa meningkat (Lestari, 2003).
Faktor lainnya adalah ketika sebuah negara memiliki utang yang harus dibayarkan, maka akan timbul dua opsi, yaitu menaikkan pajak atau mencetak lebih banyak uang. Kedua pilihan tersebut memiliki sisi negatifnya masing-masing, untuk kenaikan pajak akan mengakibatkan bisnis merespon dengan menaikkan tingkat harga untuk mengimbangi kenaikan tarif pajak perusahaan. Sebaliknya, jika pemerintah memilih opsi ke-2 akan berdampak langsung pada peningkatan jumlah uang beredar (JUB), yang pada gilirannya akan mengarah pada devaluasi mata uang dan kenaikan harga.
Inflasi tidak hanya berasal dari keputusan pemerintah, tetapi bisa juga dari perusahaan. Terkadang, cuaca alam yang kurang bersahabat dan kurangnya sumber daya alam sebagai sumber bahan produksi mengakibatkan kelangkaan pada barang jadi yang diproduksi dan dikelola oleh perusahaan tersebut. Sebagai dampaknya, harga barang tersebut menjadi naik karena memang dibutuhkan bagi masyarakat yang membutuhkan. Mereka rela mengeluarkan uang sedikit lebih banyak dari harga biasanya. Selain itu, jika suatu negara berada pada situasi kekacauan, seperti konflik politik, maka harga-harga barang di negara tersebut cenderung meningkat. Hal tersebut pernah terjadi di Indonesia ketika ada kekacauan politik dan ekonomi pada tahun 1998. Pada masa tersebut, level inflasi di Indonesia mencapai 70% padahal level inflasi yang normal berkisar antara 3% hingga 4%.
Sebenarnya, apa sih inflasi itu Sadono Sukirno menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Makro Ekonomi bahwa inflasi adalah suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mendefinisikan inflasi dalam Inflation Targeting Framework. Menurut Bank Indonesia, inflasi adalah kecenderungan harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Dilansir dari Ruangguru.com, inflasi dibagi menjadi 4 jenis berdasarkan tingkat keparahannya yaitu:
- Inflasi ringan: Tidak terlalu mempengaruhi roda perekonomian karena kenaikan harga pada inflasi ringan ini di bawah 10% per tahun.
- Inflasi sedang: Cukup berdampak pada kesejahteraan masyarakat yang memiliki pekerjaan tetap, pada inflasi jenis ini kenaikan harganya berkisar antara 10% — 30% per tahun.
- Inflasi berat: Mengakibatkan masyarakat tidak ingin menabung di bank lagi karena bunga bank lebih rendah daripada laju inflasi. Inflasi jenis ini berada pada kenaikan harga 30% — 100% per tahun.
- Inflasi sangat berat: Saat inflasi ini, sangat sulit untuk dikendalikan dan diperbaiki karena kenaikan harga pada inflasi tipe ini lebih dari 100%.
Selain itu, inflasi juga dibagi menjadi 3 berdasarkan sifatnya:
- Inflasi merayap (creeping inflation): Ditunjukkan dengan adanya laju inflasi yang rendah dimana kenaikan harga berjalan secara lambat dengan persentase yang relatif kecil serta dalam jangka waktu yang lama.
- Inflasi menengah (galloping inflation): Ditunjukkan dengan adanya kenaikan harga yang cukup tinggi dan memiliki sifat akselerasi yang terjadi dalam jangka waktu cukup singkat. Dengan kata lain, harga — harga pada saat ini lebih tinggi daripada harga — harga kemarin. Kemudian pada minggu atau bulan depan akan kembali meningkat, dan begitu seterusnya. Efek yang dirasakan yaitu keadaan perekonomian terasa semakin berat dan susah.
- Inflasi tinggi (hyperinflation): Ditunjukkan dengan adanya laju inflasi yang sangat tinggi dan parah. Inflasi ini membuat masyarakat tidak lagi ingin menyimpan uangnya. Perputaran uang terjadi secara cepat dan harga-harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini timbul karena pemerintah mengalami defisit anggaran belanja, misalnya saat keadaan perang, yang ditutup dengan mencetak uang.
Terakhir, inflasi berdasarkan asalnya dibagi menjadi 2 jenis:
- Inflasi yang berasal dari Dalam Negeri (Domestic Inflation): Contohnya adalah saat defisit anggaran belanja yang terjadi secara terus menerus, gagal panen, dan sebagainya. Dalam situasi seperti ini, pemerintah biasanya akan menginstruksi kepada Bank Indonesia untuk mencetak uang baru dalam jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan. Adapun hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya inflasi dalam negeri adalah meningkatnya biaya produksi dalam negeri dan meningkatnya permintaan masyarakat terhadap barang, sementara kenaikan penawaran tidak bisa mengimbanginya.
- Inflasi yang berasal dari Luar Negeri (Imported Inflation): Timbul karena adanya inflasi dari luar negeri yang mengakibatkan naiknya harga barang-barang impor. Inflasi seperti ini biasanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang dan biasanya sebagian besar usaha produksinya menggunakan bahan dan alat dari luar negeri yang timbul karena adanya perdagangan internasional.
Sebuah negara bisa mencapai pada titik dimana ia terjadi hiperinflasi karena kenaikan harga barang di negara tersebut sangat meningkat drastis. Pemerintahan suatu negara tentu membutuhkan anggaran untuk melakukan pembangunan. Anggaran tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti pajak dan utang luar negeri. Namun, pemungutan pajak berlebihan dinilai memberatkan rakyat. Sementara utang luar negeri ke depannya juga akan membebani anggaran pemerintah. Keputusan terkait pengadaan sumber dana anggaran pemerintah ini masuk pada ranah kebijakan moneter yang diambil dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi ekonomi di negara yang bersangkutan. Keengganan untuk menarik pajak dan mengajukan pinjaman luar negeri, tak jarang justru menyebabkan pemerintah salah langkah. Pemerintah lebih memilih untuk mencetak uang baru untuk membiayai defisit anggaran yang dialaminya. Langkah ini justru menimbulkan ‘malapetaka’ ekonomi, di mana jumlah uang beredar di masyarakat semakin banyak sehingga memicu terjadinya hiperinflasi. (simulasikredit.com)
Faktor penyebab hiperinflasi di Zimbabwe dikarenakan kas negara mengalami defisit, dimana jumlah impor lebih tinggi dibanding ekspor, sehingga pengeluaran negara lebih besar daripada pendapatan. Selain itu, dikarenakan pengelolaan ekonomi yang buruk oleh pemerintah yaitu dengan mencetak uang secara besar-besaran, tingkat inflasi di Zimbabwe tercatat 2,41 % pada tahun 2015. Laju Inflasi di Zimbabwe rata-rata 0,83 % dari tahun 2009 sampai 2015, tertinggi mencapai 156,964 % pada tahun 2008 yang mengakibatkan Zimbabwe mengalami hiperinflasi, dan rekor terendah mencapai -0,214 % pada tahun 2014 (indexmundi.com, 2020 dalam Surya Windi Pratiwi, 2020).
Krisis ekonomi di Zimbabwe diawali karena munculnya kebijakan land reform (reformasi lahan pertanian) yang dikeluarkan oleh pemerintah zimbabwe. Kebijakan ini membuat pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengambil alih lahan pertanian yang dimiliki oleh bangsa kulit putih selama puluhan tahun lamanya. Atas kebijakan tersebut, krisis pangan mulai bermunculan karena pasokan yang menurun drastis. Mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan, mata uang disana pun semakin turun nilainya karena harga barang melonjak tajam yang disebabkan oleh kelangkaan sumber daya dan sampailah Zimbabwe di titik hiperinflasi. Hal itu sangat berdampak kepada masyarakat Zimbabwe, mereka harus membayar mahal jika ingin makan dan akhirnya membuat mereka yang tidak mampu beli menjadi tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan menjadi meluas ke berbagai wilayah di Zimbabwe, masyarakat sangat menderita karena masalah ekonomi.
Hiperinflasi terjadi di Indonesia pada akhir masa Orde Lama di tahun 1963–1965. Presiden RI Soekarno yang memiliki proyek pembangunan mencetak Rupiah untuk membayar hutang dan mendanai proyek-proyek megah hingga inflasi mencapai 600%. Pendapatan per kapita Indonesia menurun secara signifikan (terutama pada tahun 1962–1963). Sehingga tanggal 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai rupiah (Sanering) dari 1000 Rupiah menjadi 1 Rupiah (kamustokopedia.com). Jerman pernah pula mengalami hiperinflasi pada tahun 1923. Ketika itu, tingkat inflasi harian mencapai 21% dan harga naik dua kali lipat setiap 3 hari 17 jam. Pada Oktober 1923, inflasi telah mencapai 29.500 per bulan dan kenaikan harga hingga dua kali lipat terjadi setiap 3–4 hari. Warga pun sampai mengumpulkan uang mereka di dalam koper-koper. Pada tahun itu juga, pemerintah memperkenalkan mata uang baru, yakni rentenmark. Perlahan harga-harga pun stabil (ekonomikompas.com, 2018).
Melihat kasus-kasus di atas, sulit rasanya untuk mengatur sebuah negara kembali ke keadaan normal seperti sebelum terjadi hiperinflasi. Pada zaman Rasulullah dan Khalifah, Islam memang belum terlalu mengenal inflasi dan jarang terjadi karena pada saat itu mata uang yang dipakai adalah dinar dan dirham yang karakteristiknya nilainya cenderung stabil dibandingkan dengan mata uang lainnya. Rasulullah juga menetapkan emas dan perak sebagai standar uang.
Akan tetapi, Islam pun pernah merasakan terjadinya guncangan perekonomian akibat belum stabilnya perpolitikan sehingga sering terjadinya peperangan dan terjadi karena faktor cuaca yang sulit untuk dihindari. Sehingga pada saat itu pernah terjadi kondisi defisit sebelum perang Hunain, dan terjadinya kelangkaan persediaan barang dan juga disebabkan oleh human error (inflasi yang disebabkan oleh manusia) (Sinaga, 2015). Pada zaman Wazir (Perdana Menteri) Ibnu Furat (908–911) atau Ali bin Isa (912–916) ketika defisit anggaran dilakukan dengan meminjam dari bankir-bankir Yahudi dan Nasrani dalam jangka panjang. Para Wazir di zaman Abbasyiah mempunyai simpanan ratusan ribu dinar di Bankir Yahudi dan Nasrani. Begitu juga halnya dengan mata uang yang digunakan pada zaman Rasulullah mulai ditinggalkan dan diganti dengan fulus yang dikenalkan oleh Sultan Kamil Ayyubi, dan diteruskan oleh Barquq yang mencetak fulus dengan jumlah yang besar demi mengambil keuntungan (Pangiuk, 2013). Human error terjadi akibat banyaknya praktik-praktik menyimpang seperti:
- Permintaan yang tidak riil, permintaan uang hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga.
- Penimbunan mata uang.
- Transaksi tallaqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung atau daerah pinggiran di luar kota untuk dijual kembali di pusat kota demi mendapatkan keuntungan dari ketidakpastian harga.
- Transaksi kali bi kali, yaitu transaksi tidak tunai, transaksi tunai diperbolehkan namun transaksi future tanpa ada barangnya adalah dilarang.
- Segala bentuk riba.
Tidak sedikit orang-orang memiliki pola pikir bagaimana caranya mendapatkan banyak keuntungan dengan sedikitnya pengorbanan. Sehingga mereka lebih memilih untuk melakukan praktik-praktik di atas yang bertentangan dengan prinsip ekonomi syariah yang mensyaratkan bahwa setiap transaksi keuangan harus berdasarkan transaksi sektor rill. Seharusnya, sektor keuangan ada untuk memfasilitasi sektor riil, seperti ungkapan money follow the trade dan tidak sebaliknya (Bank Indonesia, 2002). Apabila hal itu terjadi sebaliknya maka akan mengakibatkan financial bubble yang kerap terjadi di ekonomi konvensional. Oleh karena itu, dalam Islam kita dilarang keras melakukan praktik-praktik yang bertentangan dapat mengakibatkan perbuatan dzalim kepada masyarakat luas dan hal tersebut termasuk perbuatan dosa besar karena dapat mengacaukan sistem perekonomian dimana perputaran uang hanya terjadi di suatu kalangan tertentu dan membuat “orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin”.
Solusi yang Islam tawarkan melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kedua unsur ini digunakan untuk mengatasi inflasi. Tujuan dari kebijakan fiskal menurut Islam sendiri yaitu untuk menciptakan kestabilan ekonomi, pendapatan yang merata, tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi, dan tujuan lain yang ada di dalam islam. Dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi, terdapat instrumen yang bisa mengatasi inflasi:
- Mengoptimalkan zakat, apabila suatu perekonomian dalam kondisi full employment, maka kenaikan permintaan agregat tidak akan menimbulkan kenaikan pada pendapatan riil nasional.
- Mengenakan biaya atas dana yang menganggur (cost of idle fund), hal ini mengarahkan masyarakat bukan hanya menabung dan mendepositokan uangnya, tetapi juga menginvestasikannya.
- Menerapkan prinsip bagi hasil pada setiap transaksi, dalam hal ini kedua belah pihak (penjual dan pembeli) mendapatkan bagiannya masing-masing baik untung dan rugi sesuai dengan modalnya.
Unsur selanjutnya adalah kebijakan moneter. Dalam sistem ekonomi Islam, bank sentral harus mengarahkan kebijakan moneternya untuk membiayai pertumbuhan potensial dalam output jangka menengah dan jangka panjang demi mencapai harga yang stabil dan tujuan-tujuan sosio-ekonomi Islam.
Lantas, bagaimana caranya agar tidak terjadi hiperinflasi di masa mendatang? Caranya adalah dengan selalu melihat tingkat demand dari masyarakat dan mengimbangi supply. Walaupun kondisi paceklik akibat faktor alam tidak dapat dihindari, namun dapat diantisipasi dengan cadangan persediaan makanan maupun logistik lainnya yang mencukupi selama beberapa rentang waktu. Selain itu, penetapan pajak harus dikendalikan dengan baik, jangan sampai berlebihan dan akibatnya dapat memberatkan pekerja di sektor rill. Lalu, beredarnya mata uang harus dikontrol dengan baik. Dan yang terakhir adalah terjaganya kestabilan politik.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Inflasi tidak hanya disebabkan akibat lebih banyaknya peredaran mata uang dibandingkan barang, tetapi dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti faktor yang tidak bisa dikendalikan (alam) dan human error (manusia). Selain itu, dalam pandangan Islam, Inflasi akibat terjadinya praktik-praktik yang menyimpang dari ajaran agama dan hukum Islam terutama di bidang ekonomi. Inflasi bukan hanya suatu musibah, melainkan sebuah teguran agar manusia tidak serakah dan kembali ke ajaran yang lurus dengan menegakan keadilan dan syariah Islam.
Wallahu A’lam Bisshawab
Referensi
Pangiuk, Ambok. (2013). Inflasi Pada Fenomena Sosial Ekonomi: Menurut Al-Maqrizi. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Diakses pada 24 Desember 2021 dari https://media.neliti.com/media/publications/publications/37156-ID-inflasi-pada-fenomena-sosial-ekonomi-menurut-al-maqrizi.pdf
Bank Indonesia. (2020). Cetak Biru Pengembangan EKSyar. Diakses pada 24 Desember 2021 dari https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/moneter/pengembangan-ekonomi/cetak-biru/Default.aspx
Boku Inc. (2021). Mobile Wallets Report 2021. In Boku. Diakses dari https://boku.mobilewallet.report/
Diniari, Embun Bening. (2017). Dampak Positif dan Negatif Inflasi terhadap Negara | Ekonomi Kelas 11. ruangguru.com. Diakses dari https://www.ruangguru.com/blog/dampak-positif-dan-negatif-inflasi-terhadap-negara
Kresnoadi. (2021). Jenis-Jenis Inflasi yang Bisa Terjadi di Suatu Negara | Ekonomi Kelas 11. Ruangguru.com. Diakses dari https://www.ruangguru.com/blog/jenis-inflasi
Lestari, Novi. (2003). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi pada perekonomian regional Indonesia: studi kasus 26 provinsi di Indonesia. Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Diakses dari https://library.ui.ac.id/detail?id=109385&lokasi=lokal
Oktavia, Winda. (2021). 10 Faktor Penyebab Inflasi dalam Perekonomian, Hati-hati Utang Nasional. Jakarta: tempo.co. Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1463727/10-faktor-penyebab-inflasi-dalam-perekonomian-hati-hati-utang-nasional/full&view=ok
Pratiwi, Surya Windi. (2020). Dampak Penerapan Yuan Terhadap Ekonomi Zimbabwe. Samarinda: Unmul.ac.id. Diakses dari https://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2021/02/Ejournal%20Surya%20Windi%20Pratiwi%20(630-643)%20(02-03-21-03-49-27).pdf
Redaksi OB. (2015). Sebab Inflasi Di Zaman Rasulullah. obrolanbisnis.com. Diakses pada 24 Desember 2021 dari https://obrolanbisnis.com/2015/05/26/sebab-inflasi-zaman-rasulullah/
Setiawan, Sakina Rakhma Diah. (2018). Tak Hanya Venezuela, 5 Negara Ini Pernah Alami Hiperinflasi. London: Kompas.com. Diakses dari https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/22/174142226/tak-hanya-venezuela-5-negara-ini-pernah-alami-hiperinflasi?page=all
Tim Simulasikredit.com. Apa Itu Hiperinflasi? Mengapa Hiperinflasi Terjadi?. Simulasikredit.com. Diakses dari https://www.simulasikredit.com/apa-itu-hiperinflasi-mengapa-hiperinflasi-terjadi/
Tim Tokopedia. Diakses dari https://kamus.tokopedia.com/h/hiperinflasi/
Zuhdiyana, Qonita, dkk. (2017). Inflasi dalam Perspektif Ekonomi Islam. Pekalongan: Academia.edu. Diakses dari https://www.academia.edu/35744511/INFLASI_DALAM_PERSPEKTIF_EKONOMI_ISLAM